Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Unggahan, Dibalik Hilangnya Berkat Walimahan

"Dik, pagi ini ndak perlu masak, ada undangan walimahan", pesan saya ke istri suatu hari. 

Lama saya pandangi undangan itu. Memang benar, tertulis walimah nikah pukul delapan pagi. Hari efektif pula. Sesuatu yang tidak wajar jika diadakan di kampung halaman saya, yang justru memulai walimah nikah jam delapan malam. 

Saat itu, sebagai undangan walimah pertama sejak tinggal di Kota Blitar, saya mengganggap prosesi walimahan tidak jauh berbeda sebagaimana di Mojosari. Ada masyarakat sekitar rumah yang diundang, ada ceramah kyai, ada makan-makan, lalu dikasih berkat berisi sekotak kue dan sepaket nasi kotak buat keluarga di rumah. Itulah yang mendasari saya melarang istri masak. Toh, dapat berkat juga. 

Demi kewajiban menghadiri undangan walimah, saya bolos ngajar kuliah. Tidak masalah, bisa diganti hari lain. Inilah sisi fleksibilitas dosen yang tidak dimiliki para guru. Saya justru over thinking, merasa prihatin dengan tuan rumah apabila banyak undangan yang tidak hadir karena full time kerja di pagi hari. 

Ndilalah, saya salah. Banyak tetangga rumah yang biasanya full time kerja, pagi itu menyempatkan hadir walimah. Inilah keunikan Kota Blitar. Kota yang keguyupannya rasa pedesaan banget. 

Sampai di lokasi, saya dikasih kotak kecil warna putih. Berisi air mineral dan kue seadanya. Acara berlangsung seperti biasa. Bedanya, walimah dibarengkan dengan prosesi temu manten. Sehingga, tamu undangan tampak membludak karena gabung dengan keluarga mempelai. 

Keanehan mulai tampak kala hidangan ramah-tamah selesai disantap. "Kok berkat tak kunjung dikeluarkan, ya!", pikir saya dalam hati. Tak lama, kekhawatiran saya terbukti. Tiba-tiba seorang sesepuh berdiri menghadap kami, "shollu ala Nabi Muhammad". 

Waduh, ternyata beneran. Jika shalawat sudah dikumandangkan, kami harus membubarkan diri. Baru kali ini melihat undangan walimah pulang dengan tangan kosong. Ada perasaan kurang ikhlas dalam diri. "Bisa-bisanya ngundang walimahan tapi ndak dikasih oleh-oleh berkat, padahal dibela-belain bolos ngajar", gerutu saya. Pulang hanya bawa sekotak kue tadi, yang isinya sudah ludes diawal. 

Sebagai seorang suami idaman yang tidak ingin mengecewakan istri tercintanya, saya beranikan diri berbisik ke tetangga samping rumah. Kebetulan jalan kaki bareng. 

"Mas, ini serius ndak dapat berkat?", tanya saya dengan polosnya. 

Dia memandang saya dengan wajah keheranan, "Biasanya memang begini lho, mas". 

Saya tersenyum kecut. 

"Kalau yang dapat berkat, acaranya namanya unggahan, mas. Biasanya diadakan sehari sebelumnya, mungkin ndak semua warga diundang", tambahnya. 

Saya dapat vocabulary baru ala Blitar, unggahan. Meski saya kurang paham maksudnya.

Dengan wajah kusut, saya buka pintu rumah. "Dik, jangan salah paham ya, ternyata zonk". 

Itulah culture shock yang melatih keikhlasan hati saya jika dapat undangan walimah kembali.

***

Menjelang ramadhan begini, saya tiba-tiba nemu kata unggahan lagi. Kali ini, tetangga samping rumah berdatangan untuk mengirimi kami makanan. Hampir setiap hari dapat kiriman makanan. Alhamdulillah. 

"Mas, niki acara unggahan", jawabnya setiap kali saya tanya alasan kirim makanan. 

"Unggahan pripun to, Bu?"

"Kirim sedekah kangge leluhur, Maszeh. Biasae nggih ngeten niki sakderenge romadhon", ucapnya. 

Oh, paham. Berarti unggahan itu sedekah makanan. Diniatkan agar pahalanya dihadiahkan untuk keluarga yang sudah wafat. Betapa baik tradisi ini. 

Saya tertegun, hilangnya berkat di acara walimahan tadi, tergantikan sepenuhnya oleh datangnya banyak berkat lewat tradisi unggahan. 

Ada falsafah ke-NU-an yang seringkali didengungkan, "al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah", yakni 'menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik'. 

Tentu unggahan ini adalah tradisi baik yang layak ditiru dan dipertahankan. Sebagai pendatang yang menghormati kearifan lokal, saya tergerak untuk ikutan berbagi makanan ke tetangga. Ada nasi kotak dan sebungkus keripik.


Saya niatkan pahalanya untuk keluarga yang sudah wafat serta sebagai wasilah untuk memudahkan terkabulnya hajat. 

"Abi, unggahan itu unggah apa?", tanya istri. 

"Unggah doa, Uma", jawab saya sekenanya. 

Bagi saya, unggahan tidak hanya unggah doa. Ternyata unggah cerita dan foto di medsos juga termasuk unggahan. Bener, kan?

Posting Komentar untuk " Unggahan, Dibalik Hilangnya Berkat Walimahan"