Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Piknik Akademik ke Piknik Ciamik


Selepas shalat dhuhur, Yusuf dan Lutfi membagikan kisahnya. Sebulan terakhir, Si kembar itu melaksanakan pengabdian masyarakat di Bakung. Pelosok selatan Blitar yang eksotis itu. Keduanya familier di mata saya. Menjadi mahasiswa ilmu komputer sejak hampir empat tahun lalu. Hingga kini, saya sulit membedakan keduanya. 

Bersama belasan mahasiswa dari berbagai prodi, mereka tergabung di kelompok Desa Kedungbanteng.

Saya berkesempatan mengunjungi kelompoknya. Bukan dalam kapasitas untuk membimbing ataupun monitoring. Hanya sebagai penggembira saja. Terpengaruh bujuk rayu Dekan FIPS untuk ikut menemaninya. Tentu saja saya senang. Menyambangi tempat KKN mahasiswa adalah piknik akademik. 

Sisi selatan Blitar, seperti Bakung, punya potensi dan tantangan besar sebagai tempat pengabdian mahasiswa maupun dosen. Topologi daerahnya berbukit, kering dan gersang. Kondisi jalan yang berkelok-kelok disana relatif rusak, bahkan beberapa lokasi masih makadam. Berupa batuan kapur tajam. Berkendara dengan mobil pendek sebisa mungkin dihindari. Hanya akan menambah beban hidup. Belum lagi masalah ketersediaan air. 

"Kami tidak menyangka harus mandi satu kali sehari, Pak", keluhnya. 

Saya setia mendengar Yusuf dan Lutfi cerita bergantian. 

"Masyarakat sini terbiasa sulit air. Tidak ada sumur. Bor sulit menembus batuan kapur. Harapan ketersediaan air hanya dari dari PDAM, kadang ngalir tiga hari sekali, itupun air masih keruh, Pak".

Saya hanya bisa tersenyum dan manggut-manggut. Biasanya, keadaan sulit bakal meningkatkan kreativitas. Dan itu terbukti. 

Salah satu program pengabdian yang dicetuskan mereka adalah pembuatan alat penyaring air berbiaya rendah. Luaran yang dihasilkan tentu saja air bersih. Dalam skala lebih besar, program itu bakal dilanjutkan oleh pengabdian dosen dengan pendanaan kementerian. 

Potensi pengabdian lainnya ada di bidang dakwah. Masyarakat perlu sentuhan khusus terkait pemahaman islam. 

Terlepas dari sejarah masa silam yang menyebutkan Bakung sebagai basis simpatisan PKI. 

"Awal kelompok kami datang, musholla ini seperti tak ada fungsinya, Pak. Kotor dan jarang digunakan. Sesekali ada Pak Tua yang konon sempat jadi imam tetap. Tapi semenjak kami datang, beliau merasa 'insecure' untuk jadi imam. Jadinya sebatas mimpin doa genduren saja."

Sebagai lulusan pesantren di Ponggok, tentu saja Yusuf dan Lutfi tidak menemui kesulitan soal jadi muadzin, imam shalat dan khatib Jum'at. Namun, ada satu hal yang membuat mereka tak habis pikir. 

Suatu ketika, Pak Tua tadi ditanya mahasiswa, soal lokasi masjid yang biasa digunakan shalat Jumat. Tapi, mahasiswa dibuat 'speechless' dengan jawabannya.

"Lho mas, aku seumur-umur ora tau Jumatan". 

Berarti, sekelas imam musholla saja belum melaksanakan shalat Jumat, belum lagi masyarakat biasa. 

"Kami hitung, total jamaah Jumat hanya dua puluhan orang pak, itupun mayoritas diisi mahasiswa KKN dari beberapa kelompok."

Saya nyeletuk, "harusnya kalian pengabdian seumur hidup disini". 

"Sudah ada yang nanyain kami, Pak. Nanyain kesediaan menikah dengan gadis sini". 

Meski minim pengetahuan agama, jangan ditanya soal keramahan dan nilai-nilai sosial masyarakat desa.

Pengabdian mahasiswa pasti menyimpan kenangan tersendiri. Pun saya dulu begitu. Dua bulan membaur bersama masyarakat di Desa Pondok Agung, Kasembon. Hanya selang empat bulan pasca letusan dahsyat Gunung Kelud tahun 2014. 

Berbagai kisah saat pengabdian itu berkecamuk jadi satu. Ada kisah indah tentang semangat perjuangan, kekompakan, cerita haru, bahagia, sedih, horor bahkan cerita manis soal romansa cinta. Ah, namanya juga mahasiswa. 

Menjelang ashar, kami berpamitan. Sudah banyak yang kami diskusikan terkait pelaksanaan program kerja dan rencana penutupan.


Rugi sekali jika perjalanan piknik akademik di Bakung ini tidak dilanjutkan. Menengok panorama indah pantai selatan jawa. Justru inilah acara intinya. Dari piknik akademik ke piknik ciamik.

Posting Komentar untuk " Dari Piknik Akademik ke Piknik Ciamik"