Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Algoritma Kehidupan ala Banitech

Ada sisi kesamaan antara saya dengan mereka. Paling ketara adalah sama-sama memulai hidup di UNU Blitar tahun 2018. Itulah tahun ketika kampus 'hijau' ini baru berwujud bayi kecil umur dua tahun. 

Kita dipertemukan di prodi ilmu komputer. Saya belajar menjadi dosen, mereka beradaptasi sebagai mahasiswa baru. Sebagai dosen baru yang konon lagi mencari role model mengajar yang tepat, tentu mereka mengalami betul bagaimana penyesuaian gaya saya di kelas. Adakalanya jadi sosok killer yang jika ada yang telat 15 menit saya minta tutup pintu, dari luar. Atau nilainya auto D jika tidak masuk lebih dari 3 kali. 

Tapi, Itu dulu. 

Saya berusaha taubat dari sikap killer. Jika kambuh, ya maafkan. Seiring perjalanan waktu, dosen akan menemukan titik kebijaksanaannya. Tidak selalu ketegasan harus berbentuk biner, salah atau benar. Lagi pula, ada prinsip-prinsip fuzzy yang bisa kita diskusikan. Mencari noktah manusiawi antara salah dan benar. 

Sayang, tujuh semester berlalu begitu cepat. Mereka bukan lagi mahasiswa lugu yang harus diajari cara berjalan. Pelan-pelan, benang mulai terurai. Mereka menyadari, algoritma yang akan mereka hadapi bakal jauh lebih kompleks dari sekadar algoritma pemrograman, itulah algoritma kehidupan. 


Beberapa waktu lalu, Pak Subana, sang kepala suku mengundang saya hadir. Selalu saya panggil "pak" sebagai penghormatan kepada senior. Tentu saja dia senior saya. Tahun depan, usianya tembus 40 tahun. Sementara saya, jangan ditanya, belasan tahun lebih muda. Sejauh ini, dialah mahasiswa tertua yang pernah saya ajar. 

Pak Subana, dengan skill leadership-nya yang mumpuni, dia petakan kemampuan kawan-kawannya sekelas. Ada yang ahli ngoding, ahli jaringan, ada yang hobi multimedia, bahkan sampai ahli jualan, meski jualan produk yang tidak ada hubungannya dengan ilmu komputer. Visinya sama, optimalisasi kemampuan untuk menghasilkan uang. Mereka bentuk satu komunitas dengan ikatan emosional yang kuat, Banitech. 

Saya salut dengan cara Pak Subana yang bisa intens komunikasi dengan kawan-kawannya sekelas. Seakan-akan seperti sebayanya. Seakan-akan tanpa ada sekat usia. 

"Pak, sengaja kami undang njenengan untuk tasyakuran, kami sepakat sewa rumah sebagai bussiness camp kami", ucap Pak Subana dengan yakinnya. 

Sudah lama saya tahu cerita kekompakan Banitech. Awalnya, saya kira hanya grup kelas biasa, yang hobi rea-reo ke pantai. Tapi, makin kesini, mulai serius berbisnis. Ini yang baru saya tahu.

Banyak cerita mereka yang bikin saya kagum, dan terharu. Ternyata, uang sewa rumah sebesar 8 juta setahun itu mereka peroleh murni dari profit mereka. 

"Omzetnya sudah berapa nih", tanya saya penasaran. 

"Ngapunten, lho pak. Lebih besar dari gaji njenengan". 

Saya tertawa gembira. 

Banyak project yang sudah mereka selesaikan. Bahkan pernah menang tender. 

"Jika ditotal setahun terakhir, sudah puluhan juta yang kami dapatkan, Pak."

Sebelum pulang, mereka minta saya berfoto dengan produk unggulan mereka, jahe merah. Mereka tidak mau ngaku kala saya bertanya harga. 


Sebagai gantinya, saya endorse jahe merah di tulisan ini. 

Itu masih satu produk. Belum yang lain lagi. Dipajang berjejer di lemari kaca. 

Bisnis mereka inspiratif. Menyatukan jualan barang dan jasa. Selama ini, saya salah besar jika menilai ikan dari caranya memanjat pohon. Padahal, tiap mahasiswa punya kemampuan yang unik. Kelak, adik-adik tingkat mereka harus tahu. Keberagaman kemampuan yang diorganisir dengan baik, bakal membentuk potensi yang besar. Mereka buktinya.

Posting Komentar untuk " Algoritma Kehidupan ala Banitech"