Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Narasumber Seminar dan Nilai Tambah Dosen

"Serasa berbicara di hadapan mahasiswa UI, tapi UI cabang Nganjuk", ucap saya membuka materi pagi itu, disusul gelak tawa  puluhan mahasiswa beralmamater kuning cerah. 

Minggu lalu, sebuah kehormatan kala diundang sebagai narasumber seminar. Penyelenggaranya tidak ingin daring. Saya diminta datang langsung ke kampusnya. 2,5 jam dari Kota Blitar. Menuju sisi paling timur Kabupaten Nganjuk yang berbatasan dengan Jombang. Berarti, ini kali pertama di masa pandemi, saya bisa ngisi seminar secara luring.

Penghujung tahun lalu, saya juga berkesempatan jadi narasumber di acara Literasi Digital Kominfo dan webinar publikasi ilmiah untuk para guru se-Karesidenan Kediri. Namun, seluruhnya via zoom. Tetap saja, saya merasa ada atmosfer yang hilang jika dilaksanakan daring. Terutama soal interaksi dengan peserta seminar. Realitanya, suasana tetap lebih cair jika dilaksanakan luring.

Saya datang sesuai rundown. Pukul 7.30 pagi sudah tiba di lokasi. Disambut oleh pengurus yayasan dan para dosen. Bersama yayasan, saya berbincang banyak hal perihal suka dukanya mengelola kampus rintisan. Bedanya, di kampus ini hanya ada satu prodi saja, teknik informatika. Sedangkan UNU Blitar lebih ekstrim, merintis 17 prodi. Saya keberatan ketika UNU Blitar dipandang hebat oleh pihak luar karena banyaknya prodi yang ditangani. Tentu, seluruh kampus hebat sesuai porsinya masing-masing. 


Bersama para dosen, saya bercengkrama panjang lebar soal publikasi ilmiah. Mayoritas dosen adalah alumni Universitas Dian Nuswantoro. Saya tidak menyangka jika pernah satu forum dengan mereka di iSemantic, acara Internasional Conference di Semarang tahun 2019 lalu. Saya sebagai pemakalah di parallel session, mereka sebagai partisipan. Saya bersyukur, bertemu relasi baru adalah anugerah berharga, yang pastinya menambah jejaring dan kolega. 

Hingga pukul 14.30, saya diberikan waktu banyak untuk mengulas materi sesuai tema seminar. Fokus topik yang saya sampaikan adalah langkah-langkah publikasi di jurnal ilmiah. Ini berkaitan dengan pengalaman saya mengelola dua jurnal sebagai ketua editor, yaitu Journal of Development Research dan Journal ILKOMNIKA. 

Bagi saya, menjadi narasumber adalah nilai tambah. Bukan soal honorariumnya. Saya bahkan tidak perlu repot-repot memikirkan honorarium. Toh sudah dipikirkan panitianya. Saya tinggal terima jadi saja.

Nilai tambah yang dimaksud adalah untuk menunjang karir seorang dosen. Dosen bakal mendapatkan apresiasi penambahan nilai angka kredit untuk jabatan fungsional, sebagai poin pengabdian pada laporan kinerja dosen serta sebagai rekognisi pada penilaian akreditasi program studi. 

Selain itu, seorang dosen tidak cukup hanya bermodalkan kepandaian. Dosen juga harus cakap dalam menyampaikan ide-ide dan pengalaman ilmiahnya. Baik dengan ucapan ataupun tulisan. Ketika menjadi narasumber, kemampuan public speaking dosen bakal diuji. Tentu ini perlu latihan dan pengalaman. 

Bayangkan saja, kita harus dihadapkan dengan puluhan pasang mata yang tertuju seluruhnya ke diri kita. Jika tak terbiasa berdiri di depan forum, mulut seakan terkunci, butiran keringat mengucur, pikiran buntu, hingga tangan bergetar hebat seperti terserang stroke saat pegang mic. 


Di akhir acara, mahasiswa berebut minta foto bareng. Saya sampai mbatin, apakah seperti ini rasanya jadi narasumber lokal rasa nasional. Untung saya berhasil meyakinkan mereka jika saya sudah beristri. 

"Gini saja, kalian berbaris yang rapi, saya saja yang motho", ujar saya solutif. 

Mereka Histeris.

Posting Komentar untuk " Narasumber Seminar dan Nilai Tambah Dosen"