Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memadukan Sains dan Aswaja an-Nahdliyah, Apakah Mungkin?

Suatu ketika, ada mahasiswa yang kebingungan soal ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan topik skripsinya. Dicari dari al-Fatihah hingga an-Nas, rasanya belum ada yang nyambung. Apalagi dia bukan ahli ilmu al-Qur'an dan tafsir, lengkap sudah kebimbangannya. 

Jika boleh jujur, topik skripsinya memang tidak ada keterkaitan apapun dengan ayat-ayat al-Qur'an. Toh, topiknya memang baru muncul belakangan ini. Perihal implementasi behavioral similarity menggunakan Algoritma Transition Adjacency Relations (TARs) untuk menghitung kemiripan model proses bisnis. Jauh sekali, bukan? 

Akan tetapi, karena perpaduan sains dan islam adalah tuntutan pembahasan dalam skripsi, bahkan menjadi sub bab khusus, maka dia harus memutar otak untuk mencari penyelarasan. Pada akhirnya, ayat al-Qur'an yang dicari ketemu juga. Dicocok-cocokkan dengan topik. Dipaksakan untuk selaras. Mungkin inilah perwujudan ilmu cocoklogi yang sesungguhnya. 

Mahasiswa itu, tidak lain adalah diri saya sendiri. Enam tahun lalu. Manakala menyelesaikan skripsi untuk sarjana komputer di UIN Maliki Malang. 

Sejak awal masuk kampus hijau ini, terasa sekali gaung anti dikotomi keilmuannya. Tidak ada jurang pemisah antara sains dan islam. Setidaknya saya jumpai dari pidato-pidato mengagumkan Prof. Imam Suprayogo di penghujung kepemimpinannya saat itu.

Lebih jauh, bukti anti dikotomi masih dapat dijumpai pada pernyataan visi UIN Maliki Malang di situs resminya. Hal ini wajar, mengingat kampus harus memiliki ciri kekhasan. Dalam hal ini, integrasi sains dan islam adalah ciri khas UIN Maliki Malang, yang sejalan dengan mottonya, membentuk ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Itulah tafsir progresif dari terminologi "Ulul Albab".

Setelah UIN Maliki Malang, ternyata kini saya jumpai lagi kekhasan yang nyerempet-nyerempet soal perpaduan sains dan islam. Kekhasan itu justru datang dari kampus tempat saya mengabdi, UNU Blitar. Bahkan, kekhasan UNU Blitar lebih spesifik. Bukan hanya soal integritasi sains dan islam, melainkan perpaduan antara sains dan akidah Ahlussunah wal jamaah an-Nahdliyah (Aswaja an-Nahdliyah). Bedanya, Islam belum tentu Aswaja an-Nahdliyah, namun Aswaja an-Nahdliyah sudah pasti islam. Jika perpaduan sains dan islam saja sudah kontroversial, apalagi sains dengan Aswaja an-Nahdliyah. Pasti bakal membentuk wacana yang penuh dialektika.

Jika ditilik visi resminya, visi UNU Blitar memiliki redaksi khas pada "ilmu pengetahuan dan teknologi yang berpedoman kepada akidah Ahlussunah wal jamaah an-Nahdliyah". Secara definitif, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sinonim dari sains itu sendiri. Jadi boleh dibilang, "sains yang berpedoman kepada akidah Aswaja an-Nahdliyah."

Sebentar, bukankah tidak ada redaksi integrasi atau perpaduan, mengapa repot-repot memadukan?

Begini, secara implisit, integrasi tetaplah ada, walau tidak termaktub dengan tegas. Kata kuncinya ada pada kata "pedoman". Pedoman adalah ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan. 

Jika diterapkan, ujungnya sama-sama integrasi kok. Mirip dengan kisah cocoklogi saya tadi. Hanya saja, beda logika penalaran. 

Bingung ya? saya jelaskan. 

Apa yang saya lakukan saat mencari ayat-ayat al-Qur'an yang sesuai topik skripsi adalah bentuk penalaran induktif. Dari khusus ke umum. Topik skripsi saya adalah masalah yang khusus. Sedangkan bentuk integrasinya adalah mencari ayat-ayat al-Qur'an yang memuat substansi umum, yang multitafsir, yang bisa saya selaraskan (paksakan?)  dengan topik yang khusus tadi. 

Oke, lanjut. 

Redaksi "pedoman" yang tertera pada visi UNU Blitar, bisa diarahkan pada pola penalaran yang deduktif. Dari umum ke khusus. Berpedoman pada akidah Aswaja an-Nahdliyah adalah bentuk keumuman, yang dapat diturunkan ke berbagai aspek khusus, yang dalam konteks perguruan tinggi, kekhususannya terpecah pada tiga dharma: pendidikan, penelitian dan pengabdian. Disinilah bentuk perpaduannya. 

Kembali ke pertanyaan awal, apa mungkin sains dan Aswaja an-Nahdliyah dipadukan, terutama pakai pola deduktif tadi?

Jawaban sederhananya adalah mungkin dan bisa. Justru, tantangan yang tidak sederhananya adalah bagaimana perpaduan dua kutub itu tidak menimbulkan kesan pemaksaan sehingga berujung pada cocoklogi.

Pertanyaan lanjutan pun muncul, bagaimana sains dan Aswaja an-Nahdliyah dipadukan sehingga tidak menimbulkan kesan cocoklogi?

Tunggu dulu, sebelum pertanyaan itu mengarah lebih jauh, sebenarnya apa sih pentingnya membahas ini?

Visi itu mencerminkan cita-cita dan tujuan masa depan institusi, termasuk UNU Blitar. Hidup tanpa visi ibarat orang yang tidak punya tujuan hidup. Betapa kasian. 

UNU Blitar sebagai kapal besar yang menampung ribuan civitas akademika harus memiliki kesamaan visi demi tercapainya tujuan hidup. 

Sebagai konsekuensi logis, kesamaan persepsi dalam visi UNU Blitar, harus diturunkan pada visi fakultas, program studi serta lembaga-lembaganya. Kesamaan persepsi itu ada pada redaksi yang sedang kita bahas ini. 

Dengan demikian, penjelasan tentang perpaduan sains dan Aswaja an-Nahdliyah adalah keniscayaan untuk menjalankan visi UNU Blitar. 

Baiklah, siapalah saya, rasanya kurang pantas untuk menjelaskan lebih jauh. Bukan maqom-nya. 

Lah wong nyari ayat-ayat al-Qur'an yang relevan dengan topik skripsi saja masih cocoklogi, kok malah mau nekat menjelaskan perpaduan sains dan Aswaja an-Nahdliyah. Apa ndak malah menyesatkan?

Saya justru berharap banyak dan menanti gebrakan pemikiran visioner soal ini kepada para alim ulama dan para ustadz yang selama ini mengajar dan membimbing kami di UNU Blitar. Ayolah ustadz, beri kami pencerahan, jangan pendam sendiri ilmunya!

2 komentar untuk " Memadukan Sains dan Aswaja an-Nahdliyah, Apakah Mungkin?"

  1. Masyaallah, izinkan saya membahas hal ssrupa sebentar lagi ustad. Tulisan yang berisi daginh dan penuh nutrisi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren, pasti menarik dan bernas, Prof. Saya nanti tulisannya.

      Hapus