Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jamaah Tablig di Masjid NU

Saya tidak meragukan keramahan orang Blitar. Tanda keramahannya adalah suka menyapa. Bahkan kepada yang tidak dikenal sekalipun. Tentu tidak semua orang Blitar begitu. Setidaknya saya yang pendatang ini sering merasakannya. Entah dengan anggukan, kadang senyuman, hingga sapaan khas Jawa, "Monggo mas".

Tapi, ada sapaan yang tidak biasa. Oleh orang Blitar yang cara berpakaiannya juga tidak biasa. Berjubah putih, bersorban dan berpeci putih. Selalu menyapa saya dengan salam, "Assalamualaikum" ketika berpapasan. Kadang beliau jalan kaki, kadang naik sepeda ontel, sering kali naik motor dengan laki-laki muda yang bergamis dan bercelana cingkrang itu.

Saya salut, masih ada yang menyapa dengan salam kepada sesama muslim. Apalagi kepada yang tidak dikenalnya. 

Beliau rajin sekali berjamaah di Masjid Baitul Hakim. Kalau jamaah shubuh, baru turun dari masjid setelah shalat isyroq. Jika jamaah maghrib, beliau istiqomah mengaji sampai berjamaah isya. 

Laki-laki muda bergamis dan bercelana cingkrang itu ternyata putranya, yang tak kalah rajinnya beribadah. 

Awalnya, saya mengira mereka kelompok salafi wahabi. Apalagi jika melihat tebal dan panjang jenggotnya, serta celana cingkrangnya. Namun, saya salah. Ketika saya jadi imam shalat, saya sengaja membalikkan badan agak menghadap jamaah kala dzikir bersama. Saya lirik beliau berdua. Eh, ikutan dzikir. Lantas, ikutan juga doa bersama mengangkat tangan. Bahkan bersalam-salaman setelah doa. Selama ini, saya belum pernah menjumpai salafi wahabi yang begitu. 

Beberapa minggu kemudian, beliau dan putranya menghilang. Menghilang lama. Saya menyesal belum sempat kenalan. Alamat rumahnya pun saya tidak tahu. 

Awal pandemi melanda negeri ini,  beliau tiba-tiba berjamaah lagi di Baitul Hakim. 

Tidak ingin menyiakan kesempatan, maka sesuai shalat, saya langsung menyalami dan mencium tangan beliau. Saya tanya kabar beliau yang setahun menghilang. Saya mengenalkan diri serta izin berkenalan dengan beliau. 


"Kulo Mbah To, mas", jawab beliau dengan senyuman khasnya. Saya panggil beliau "Yai" untuk menghormati ketawadhuannya. Saya juga kenalan dengan putranya, 

"Panggil saja Abdullah, mas", katanya. 

Mungkin, karena sering melihat saya pakai kopiah logo NU, beliau -Mbah To- mengeluarkan catatan kecil dari sakunya, "mas, Syaikh Ilyas Al-Kandahlawi dengan KH. Hasyim Asy'ari satu guru di Makkah". 

Saya tersenyum. Saya paham arah pembicaraan beliau. Syaikh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi adalah pendiri Jamaah Tabligh. Penasaran saya terjawab. Berarti beliau berdua memang bukan salafi wahabi, melainkan jamaah tabligh.  

Ada buku saya yang tak kunjung khatam karena tebalnya. Buku terjemah kitab Fadhoilu Al-A'mal karya Syaikh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, keponakan Syaikh Ilyas. Saya melihat buku itu jadi pegangan jamaah tabligh ketika mengisi kajian di masjid-masjid. Isinya luar biasa bagus. Kaya akan hadist Nabi. Penjelasan kitabnya mumpuni untuk menerangkan keutamaan amal yang berlandaskan dalil. 

Beliau berdua cerita bahwa setahun terakhir, sebelum pandemi, sedang khuruj ke luar daerah. Khuruj yang beliau maksud adalah pergi berdakwah ke suatu tempat dengan durasi waktu tertentu. Disana beliau fokus untuk belajar Islam dengan taklim, serta mengajak masyarakat sekitar untuk aktif secara Ubudiyah, terutama shalat berjamaah di masjid. Beliau bahkan sudah pernah sampai di poros jamaah tabligh, nun jauh disana,  Pakistan-India-Bangladesh. 

"Sebagai umat islam, jangan sampai lepas dari kewajiban dakwah, mas", begitu nasehat beliau.

"Nggih yai".

Jika dakwah beliau berdua dengan cara khuruj, maka dakwah saya adalah dengan mengajar dan mengabdikan diri di perguruan tinggi. Sama-sama di jalur dakwah, hanya beda rel saja. Dengan begitu, kita bisa saling berbagi tugas. 

NU dan jamaah tabligh sejatinya konsisten mengajak umat Islam untuk taat secara ubudiyah. Namun, NU punya tugas tambahan yang tak kalah berat. Membuat umat Islam berdaya dalam segala aspek sosial kemasyarakatan. Dititik inilah, saya sebagai kader NU ambil peran untuk dakwah di pendidikan tinggi.

Posting Komentar untuk "Jamaah Tablig di Masjid NU"