Imam dan Khotib Idul Adha: Kolaborasi Generasi Muda Beda Madzab
"Mas, bisa ngimamin sholat id di Masjid Al-Ikhlas?"
"Nggih yah, siap"
"Nggih yah, siap"
Saya tak kuasa menolak request bapak mertua. Beliau menjadi takmir di banyak masjid. Masjid Al-Ikhlas salah satunya, bahkan sejak masjid ini didirikan. Selain itu, menjadi takmir juga di Masjid Al-Azhar, Masjid Salman Farisi dan Musholla An-Nur di dekat rumah.
Masjid Al-Ikhlas ini termasuk masjid baru di Mojosari, tepatnya di Mojogending. Bebas digunakan maksimal untuk kegiatan keislaman. Tidak terikat dengan ormas tertentu. Walau secara resmi masjid ini tidak bertongkat, namun biasa ditempati rutinan yasinan oleh masyarakat setempat.
Ada sisi positif dari manajemen masjid ini. Takmir sangat welcome terhadap generasi muda islam. Takmir memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk tampil pede di depan jamaah. Belajar jadi imam shalat 5 waktu, imam shalat tarawih, imam shalat id, bahkan khutbah jumat dan khutbah hari raya. Bagaimanapun, generasi muda suatu saat akan menggantikan yang tua. Jika tidak belajar dari sekarang, mau nunggu kapan. Jangan sampai ketika generasi tua diwafatkan, generasi muda tak siap menggantikan.
Ini pengalaman pertama saya menjadi imam sholat id di masjid tak bertongkat. Kalau imam sholat tarawih sering. Baik masjid bertongkat yang 20 rakaat, maupun tak bertongkat yang 8 rakaat. Saya jadi terbiasa untuk menyesuaikan diri sesuai kebiasaan amaliah di masjid itu. Salah satu prinsip dakwah bagi imam sholat adalah jangan membuat amaliah yang bikin gaduh jamaah. Dakwah itu untuk melembutkan hati dan mengajak amal sholih, bukan mengajak debat dan berantem gara-gara beda paham.
Oleh karenanya, memahami masalah furu' fiqih dalam hal shalat menjadi pegangan penting bagi imam lintas madzab ini.
Sebagai generasi muda yang berkultur nahdlatul ulama, tentu saya memiliki prinsip untuk beramaliah fiqih berdasarkan madzab imam syafi'i. Pun masalah sholat. Sebagaimana yang diajarkan para asatidz dan guru-guru ngaji saya dahulu.
Saya bertanya ke takmir, bagaimana pelaksanaan shalat idul adha di Masjid Al-Ikhlas. Alhamdulillah, sama saja. Tetap takbir tujuh kali di rakaat pertama, disusul lima takbir di rakaat kedua. Perbedaan mendasar hanya tidak ada bilal shalat idul adha menjelang khotib naik mimbar.
Masjid Al-Ikhlas ini termasuk masjid baru di Mojosari, tepatnya di Mojogending. Bebas digunakan maksimal untuk kegiatan keislaman. Tidak terikat dengan ormas tertentu. Walau secara resmi masjid ini tidak bertongkat, namun biasa ditempati rutinan yasinan oleh masyarakat setempat.
Ada sisi positif dari manajemen masjid ini. Takmir sangat welcome terhadap generasi muda islam. Takmir memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk tampil pede di depan jamaah. Belajar jadi imam shalat 5 waktu, imam shalat tarawih, imam shalat id, bahkan khutbah jumat dan khutbah hari raya. Bagaimanapun, generasi muda suatu saat akan menggantikan yang tua. Jika tidak belajar dari sekarang, mau nunggu kapan. Jangan sampai ketika generasi tua diwafatkan, generasi muda tak siap menggantikan.
Ini pengalaman pertama saya menjadi imam sholat id di masjid tak bertongkat. Kalau imam sholat tarawih sering. Baik masjid bertongkat yang 20 rakaat, maupun tak bertongkat yang 8 rakaat. Saya jadi terbiasa untuk menyesuaikan diri sesuai kebiasaan amaliah di masjid itu. Salah satu prinsip dakwah bagi imam sholat adalah jangan membuat amaliah yang bikin gaduh jamaah. Dakwah itu untuk melembutkan hati dan mengajak amal sholih, bukan mengajak debat dan berantem gara-gara beda paham.
Oleh karenanya, memahami masalah furu' fiqih dalam hal shalat menjadi pegangan penting bagi imam lintas madzab ini.
Sebagai generasi muda yang berkultur nahdlatul ulama, tentu saya memiliki prinsip untuk beramaliah fiqih berdasarkan madzab imam syafi'i. Pun masalah sholat. Sebagaimana yang diajarkan para asatidz dan guru-guru ngaji saya dahulu.
Saya bertanya ke takmir, bagaimana pelaksanaan shalat idul adha di Masjid Al-Ikhlas. Alhamdulillah, sama saja. Tetap takbir tujuh kali di rakaat pertama, disusul lima takbir di rakaat kedua. Perbedaan mendasar hanya tidak ada bilal shalat idul adha menjelang khotib naik mimbar.
![]() |
Khutbah Idul Adha di Masjid Al-Ikhlas |
Perasaan gugup ketika menjadi imam selalu muncul. Saya hanya khawatir lupa bacaan surat saja. Kalau khutbah sih ndak khawatir lupa. Kan bawa teks. Alhamdulillah, kekhawatiran saya tidak terbukti. Karena surat yang saya baca tidak panjang-panjang amat. Al-A'la dan Ali Imran 189-194.
Selesai shalat. Tampil khatib muda memulai khutbah idul adha. Kemungkinan, usia beliau terpaut beberapa tahun lebih muda daripada saya. Beliau putra salah satu takmir masjid. Dari tampilannya, seperti santri pesantren gontor. Rapi, menggunakan jas dan berkopiah hitam.
Saya suka sekali gaya khutbahnya. Tidak tekstualis walau pegang naskah. Bahasa arabnya lancar, intonasinya bersemangat khas anak muda. Isi khutbahnya pun berbobot. Pastinya ndak bikin ngantuk juga, walau khutbahnya agak panjang, 30 menit.
Saya suka sekali gaya khutbahnya. Tidak tekstualis walau pegang naskah. Bahasa arabnya lancar, intonasinya bersemangat khas anak muda. Isi khutbahnya pun berbobot. Pastinya ndak bikin ngantuk juga, walau khutbahnya agak panjang, 30 menit.
Selesai khutbah, saya salami beliau sambil ngobrol-ngobrol ringan.
Saya agak terkejut ketika beliau menyampaikan bahwa beliau mahasiswa semester pertengahan di salah satu kampus islam di Jember. Ambil ulumul hadist. Nama kampusnya, STDI Imam Syafi'i. Kampusnya asatidz salafi -jika tidak ingin menyebutnya wahabi-.
Saya guyoni beliaunya, "Wah mantap tuh, jadi santrinya ustadz Syafiq ya?"
Anda pasti tahu ustadz kondang, Dr. Syafiq Basalamah yang video ceramahnya banyak di Youtube. Beliau mengajar disana.
Kampus ini dulu pernah bersitegang dengan nahdliyyin di Jember. Alhamdulillah tidak ada kendala lagi setelah dimediasi kemenag jember. Kedua pihak sepakat untuk menjaga ukhuwah islamiyah dengan bertoleransi pada perbedaan amaliah umat islam.
Barangkali wujud ukhuwah itu dibuktikan dengan khutbah beliau tadi. Isinya menentramkan hati dan mengajak amal shalih. Tidak ada muqaddimah khutbah yang mencuplik hadits "kullu bid'atin dholalah". Beliau menggunakan siyadah "Sayyidina" ketika bersholawat kepada nabi. Bahkan mengangkat tangan ketika memimpin doa di khutbah kedua, yang di sebagian masjid salafi menunjuk jari telunjuk ke atas ketika doa.
Ini momentum langka bagi saya sendiri. Saya yang NU ini bisa berkolaborasi dengan salafi. Imam NU dan khotib salafi. Tanpa embel-embel debat saling menyesatkan satu sama lain. Sebenarnya kalau saling silaturrahim antar kelompok islam, suasana jadi adem dan damai. Ricuhnya cuma di sosial media doang. Ya biarkan lah. Wong itu cuma dunia maya, bukan dunia nyata. Jika ada yang bawa-bawa kericuhan dunia maya ke dunia nyata. Berarti nyawanya belum utuh 100%.
Ada maqolah yang sering disampaikan oleh Ust. Abdul Shomad, menukil ucapan Syaikh Hassan Al-Banna, "Mari beramal pada perkara yang kita sepakati, dan berlapang dada menyikapi perkara yang kita ikhtilaf di dalamnya.
Wallahu A'lam bisshowab.
Saya agak terkejut ketika beliau menyampaikan bahwa beliau mahasiswa semester pertengahan di salah satu kampus islam di Jember. Ambil ulumul hadist. Nama kampusnya, STDI Imam Syafi'i. Kampusnya asatidz salafi -jika tidak ingin menyebutnya wahabi-.
Saya guyoni beliaunya, "Wah mantap tuh, jadi santrinya ustadz Syafiq ya?"
Anda pasti tahu ustadz kondang, Dr. Syafiq Basalamah yang video ceramahnya banyak di Youtube. Beliau mengajar disana.
Kampus ini dulu pernah bersitegang dengan nahdliyyin di Jember. Alhamdulillah tidak ada kendala lagi setelah dimediasi kemenag jember. Kedua pihak sepakat untuk menjaga ukhuwah islamiyah dengan bertoleransi pada perbedaan amaliah umat islam.
Barangkali wujud ukhuwah itu dibuktikan dengan khutbah beliau tadi. Isinya menentramkan hati dan mengajak amal shalih. Tidak ada muqaddimah khutbah yang mencuplik hadits "kullu bid'atin dholalah". Beliau menggunakan siyadah "Sayyidina" ketika bersholawat kepada nabi. Bahkan mengangkat tangan ketika memimpin doa di khutbah kedua, yang di sebagian masjid salafi menunjuk jari telunjuk ke atas ketika doa.
Ini momentum langka bagi saya sendiri. Saya yang NU ini bisa berkolaborasi dengan salafi. Imam NU dan khotib salafi. Tanpa embel-embel debat saling menyesatkan satu sama lain. Sebenarnya kalau saling silaturrahim antar kelompok islam, suasana jadi adem dan damai. Ricuhnya cuma di sosial media doang. Ya biarkan lah. Wong itu cuma dunia maya, bukan dunia nyata. Jika ada yang bawa-bawa kericuhan dunia maya ke dunia nyata. Berarti nyawanya belum utuh 100%.
Ada maqolah yang sering disampaikan oleh Ust. Abdul Shomad, menukil ucapan Syaikh Hassan Al-Banna, "Mari beramal pada perkara yang kita sepakati, dan berlapang dada menyikapi perkara yang kita ikhtilaf di dalamnya.
Wallahu A'lam bisshowab.
Terima kasih Informasinya Ustad Prof, saya baru tahu ada istilah masjid bertongkat dan tidak bertongkat hehe. Luar biasa...
BalasHapusHehehe... istilah yang kadang identik dengan ormas tertentu prof
HapusAlhamdulillah yg jadi khotib itu anak kami yg no 3 bernama salman hibaturrohman, tgl 25 agustus ini genap berumur 20 th
BalasHapusAlhamdulillah bu, InsyaAllah ulama masa depan. Semoga senantiasa memberikan manfaat bagi ummat
Hapus