Kepepet, 3 Hari Belajar Nyetir Mobil Untuk Berbagai Kondisi Jalan
Ceritanya, orang tua saya beli mobil waktu itu karena kepepet, mungkin lebih tepatnya dipepet. Bukan kepepet kebutuhan yang mendesak, tapi karena dipaksa oleh pakdhe (kakak ipar dari ibu saya) untuk membeli mobil beliau. Beliau merasa eman, kalau mobil yang beliau cintai itu jatuh ke orang lain. Tentu saja, saya dan bapak waktu itu kompak menolak penawaran pakdhe. Bukan berarti kami kere (meskipun sebenarnya demikian), melainkan karena tidak ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan kami membeli mobil. Toh, setiap orang di rumah kami sudah punya motor. Pakdhe tetap bersikeras. Beliau meyakinkan kami bahwa suatu saat pasti butuh, apalagi hanya keluarga kami yang belum memiliki mobil diantara saudara ibu yang lain. Saya dan bapak hanya terdiam, ingin menolak tapi rasanya sungkan dan ndak enak hati. Hanya ibu yang luluh hati dan setuju jika keluarga kami harus punya mobil. Siapa yang tidak ingin jika bepergian menjadi lebih nyaman, tanpa kehujanan dan kepanasan. Akhirnya kami terpaksa menyetujui, apalagi pakdhe memberikan keringanan. Boleh dicicil kapanpun, bahkan tanpa bunga.
Beberapa bulan setelah itu, sakit yang diderita pakdhe semakin parah. Allah mentakdirkan pakdhe lebih dulu meninggalkan kami. Semoga beliau khusnul khatimah melalui segala kebaikan beliau. Kami anggap, paksaan pakdhe beberapa bulan lalu sebagai isyarat. Beliau hanya tidak ingin mobil kesayangannya selama ini jatuh ke orang lain. Mungkin beliau menganggap kami mampu merawat mobil beliau sebaik mungkin. Semoga saja.
Baik, kembali ke cerita saya tentang belajar nyetir mobil. Waktu itu, beberapa hari setelah mobil pakdhe resmi berpindah ke rumah kami, saya dan bapak malah kebingungan, apalagi ibu. Maklum, tidak ada yang bisa nyetir, sehingga mobil hanya nangkring di garasi. Paling-paling hanya bisa manasin saja.
Lama-lama kami bosan juga tiap hari hanya bisa manasin mobil. Berbekal semangat kemandirian nyetir mobil, bapak memanggil tetangga yang biasa jadi sopir travel untuk mengajari kami. Sebut saja Cak Sudar. Karena kesibukan beliau, kami hanya berkesempatan untuk diajari 3 hari saja, itu pun tiap sore hingga menjelang maghrib. Bapak dan ibu kompak menunjuk saya untuk fokus diajari duluan. Alasannya simpel, mereka menganggap yang muda lebih mudah diajari. Padahal belum tentu juga ya. Bismillah, saya hanya berbekal keyakinan. Kalau belajar pasti bisa. Meskipun ada resiko indisen nabrak atau lecet, yang pasti mobil ini sudah jadi milik kami. Inilah enaknya punya mobil duluan, baru belajar. Daripada melecetkan mobil orang atau mobil milik les mengemudi.
Hari pertama, Cak Sudar mengajak saya ke lapangan bola di desa sebelah. Beliau menganggap saya harus diajari dari nol. Nol putul. Saking ndak bisanya saya. Menurut Cak Sudar, ada nilai plus seandainya belum bisa mobil tapi bisa nyetir sepeda motor berkopling. Artinya, dia sudah terbiasa untuk memasukkan kopling dan mindah gigi transmisi sebelum nge-gas. Mirip-miriplah antara mobil dan motor dari sisi pengkoplingan, hanya saja berbeda caranya. Berhubung saya tidak bisa nyetir motor berkopling, maka nilai plus dicoret.
Setelah diberikan teori dasar nyetir mobil, saya diminta praktek langsung di lapangan. Tantangan berat bagi sopir pemula adalah menyeimbangkan gas dan kopling setelah masuk ke gigi 1. Beberapa kali mobil saya mogok. Nyoba lagi, mogok lagi. Sekali berhasil, mobil rasanya seperti loncat dan mesin menderu keras akibat terlalu dalam menekan gas. Selama sejam penuh, saya fokus dilatih menyeimbangkan gas dan kompling. Jika mobil sudah jalan, pindah gigi 1 ke gigi 2 terasa ringan. Kesalahan saya selanjutnya adalah salah memindah gigi. Dari gigi 1, kemudian loncat ke gigi 4. Ini terjadi karena posisi persneling sama-sama ditarik kebelakang. Belajar di lapangan makin lama terasa tidak enak saking sempitnya lahan. Mobil hanya bisa muter-muter saja. Kalau pun lurus, hanya sebentar.
Sejam berikutnya, saya dinilai mampu untuk menyeimbangkan kopling dan gas tanpa mogok. Mobil diarahkan keluar lapangan lantas masuk ke jalan desa yang sempit namun cukup sepi. Saya dilatih menjalankan mobil dijalan lurus. Gampang saja sih. Tapi, yang bikin sulit adalah menyeimbangkan haluan, apalagi di jalanan yang sempit. Wajar jika sopir anyaran beranggapan jalanan yang dilewati hanya pas untuk mobilnya saja. Meski berjalan lurus, terkadang mobil agak nyerong ke kiri atau ke kanan tanpa disadari sopir. Inilah pelajaran kepekaan sopir dimulai. Sopir dituntut menjalankan mobil di posisi yang tepat. Tidak terlalu ke kiri karena ada got, dan tidak terlalu ke kanan karena digunakan untuk kendaraan dari arah sebaliknya. Hari pertama pun berakhir, tanpa ada goresan lecet di mobil.
Hari kedua, Cak Sudar melatih saya untuk berani nyetir di jalan besar yang ramai kendaraan. Tentu ini tantangan berat. Kenyataannya, memang sopir lebih banyak nyetir di jalan ramai kan? Untungnya, jalanan yang dilalui tidak sesempit jalan desa kemarin. Namun tetap saja bikin merinding. Sore itu, mobil saya kendarai mulai dari depan rumah. Masih lancar. Lalu, tibalah saya di jalan provinsi Mojosari-Mojokerto yang terkenal ramai dan tidak ramah. Banyak pengguna jalan yang menjadi korban keganasan kendaraan lain. Tidak sedikit pengendara motor yang jatuh dengan sendirinya gara-gara lubang dan jalan bergelombang. Naasnya, jalanan ini tidak pernah sepi dari truk besar. Jika lalai sekejap, mimpi buruk bakal terjadi. Jalannya pun dulu tak selebar sekarang. Rasanya, jalanan disana sudah terlalu sempit dibandingkan volume kendaraan yang besar.
Sebagai sopir anyaran, barang tentu kecapatan mobil yang saya sopiri dibawah standar mobil-mobil lain yang lewat sana. Akhirnya, saya harus merepet ke kiri. Banyak kendaraan di belakang mobil saya yang mengantri untuk nyalip gara-gara saya terlalu lambat. Klakson terdengar bersautan. Motor, mobil, dan truk rasanya kompak untuk meneror saya lewat klakson. Mereka tak sabar ada orang belajar nyetir dijalan ramai. Sepertinya sangat mengganggu. Keringat saya bercucuran. Panik dan gugup. Cak Sudar meminta saya lebih tenang. Banyak pemotor yang nyalip sambil noleh ke arah saya. Tak sedikit yang matanya melotot tajam. Mimik wajahnya agak nesu. Disini saya belajar, sopir itu wajib kuat mental. Tak boleh cepat ngambek walau dipisui banyak orang. Andai waktu itu ada Bidadari Kesleo-nya Nella Kharisma mungkin masalah tidak serunyam ini. "Sing tenang, ben iso mikir, ra usah sumelang, ojo kuwatir. Sing penting lurus mlakumu, Ngganteng atimu, ngganteng sifatmu."
Hari ketiga, titik kritis dari masa latihan nyetir dimulai. Entah apa yang dipikirkan Cak Sudar. Kali ini beliau mengajak saya latihan nyetir di jalanan yang tak biasa. Bahkan mereka yang nyetir lama pun akan berfikir dua kali untuk lewat jalanan seperti ini. Ya, saya dipaksa nyetir di kawasan Pacet, daerah pegunungan dengan kondisi naik turun dan kelokan tajam. Awalnya, Cak Sudar mencarikan jalanan sepi dengan kondisi menanjak. Saya diminta berhenti di tengah tanjakan dan menyeimbangkan kopling dan gas agar mesin tidak mati. Ibaratnya, saya sedang mensimulasikan kondisi ketika macet di tanjakan. Syaratnya, tidak boleh menggunakan hand rem maupun rem gas. Saya gagal. Beberapa kali mobil mogok dan mundur. Akhirnya, Cak Sudar mencari batu untuk mengganjal roda belakang. Minimal ada penahan mobil agar tidak mundur. Masih gagal. Berhenti di jalan tanjakan dengan kondisi mesin tetap menyala di gigi 1 tanpa rem adalah hal tersulit yang saya rasakan menjadi sopir. Memang ini butuh jam terbang tinggi. Lama-lama akan terbiasa.
Lengkap sudah diklat nyopir 3 hari bersama Cak Sudar. Satu hal yang membuat kita punya kekuatan super power. Dengan kepepet, semua hal yang tak mungkin tiba-tiba mungkin. Latihan nyetir 3 hari itu menjadi modal yang luar biasa dikemudian hari. Sekarang, buah manis telah saya petik. Mobil dengan merk apapun bisa dengan mudah saya sopiri. Saya bahkan bisa dengan mudah melewati berbagai jenis jalan. Jalan lurus, macet di jalan nanjak, hingga dijepak GPS nyasar di Hutan Tunggangan, Wonogori malam-malam pun pernah. Padahal jalan di Alas Tunggangan sangat berbahaya. Bahkan menurut saya melebihi bahayanya jalan di Tahura Cangar (Kota Batu - Pacet). Bagi teman-teman yang masih belajar, jangan menyerah. Skill akan terasah seiring jam terbang yang melimpah. Semoga pengalaman saya ini bermanfaat.
Mojosari, 9 Juni 2018
Hari kedua, Cak Sudar melatih saya untuk berani nyetir di jalan besar yang ramai kendaraan. Tentu ini tantangan berat. Kenyataannya, memang sopir lebih banyak nyetir di jalan ramai kan? Untungnya, jalanan yang dilalui tidak sesempit jalan desa kemarin. Namun tetap saja bikin merinding. Sore itu, mobil saya kendarai mulai dari depan rumah. Masih lancar. Lalu, tibalah saya di jalan provinsi Mojosari-Mojokerto yang terkenal ramai dan tidak ramah. Banyak pengguna jalan yang menjadi korban keganasan kendaraan lain. Tidak sedikit pengendara motor yang jatuh dengan sendirinya gara-gara lubang dan jalan bergelombang. Naasnya, jalanan ini tidak pernah sepi dari truk besar. Jika lalai sekejap, mimpi buruk bakal terjadi. Jalannya pun dulu tak selebar sekarang. Rasanya, jalanan disana sudah terlalu sempit dibandingkan volume kendaraan yang besar.
Sebagai sopir anyaran, barang tentu kecapatan mobil yang saya sopiri dibawah standar mobil-mobil lain yang lewat sana. Akhirnya, saya harus merepet ke kiri. Banyak kendaraan di belakang mobil saya yang mengantri untuk nyalip gara-gara saya terlalu lambat. Klakson terdengar bersautan. Motor, mobil, dan truk rasanya kompak untuk meneror saya lewat klakson. Mereka tak sabar ada orang belajar nyetir dijalan ramai. Sepertinya sangat mengganggu. Keringat saya bercucuran. Panik dan gugup. Cak Sudar meminta saya lebih tenang. Banyak pemotor yang nyalip sambil noleh ke arah saya. Tak sedikit yang matanya melotot tajam. Mimik wajahnya agak nesu. Disini saya belajar, sopir itu wajib kuat mental. Tak boleh cepat ngambek walau dipisui banyak orang. Andai waktu itu ada Bidadari Kesleo-nya Nella Kharisma mungkin masalah tidak serunyam ini. "Sing tenang, ben iso mikir, ra usah sumelang, ojo kuwatir. Sing penting lurus mlakumu, Ngganteng atimu, ngganteng sifatmu."
Hari ketiga, titik kritis dari masa latihan nyetir dimulai. Entah apa yang dipikirkan Cak Sudar. Kali ini beliau mengajak saya latihan nyetir di jalanan yang tak biasa. Bahkan mereka yang nyetir lama pun akan berfikir dua kali untuk lewat jalanan seperti ini. Ya, saya dipaksa nyetir di kawasan Pacet, daerah pegunungan dengan kondisi naik turun dan kelokan tajam. Awalnya, Cak Sudar mencarikan jalanan sepi dengan kondisi menanjak. Saya diminta berhenti di tengah tanjakan dan menyeimbangkan kopling dan gas agar mesin tidak mati. Ibaratnya, saya sedang mensimulasikan kondisi ketika macet di tanjakan. Syaratnya, tidak boleh menggunakan hand rem maupun rem gas. Saya gagal. Beberapa kali mobil mogok dan mundur. Akhirnya, Cak Sudar mencari batu untuk mengganjal roda belakang. Minimal ada penahan mobil agar tidak mundur. Masih gagal. Berhenti di jalan tanjakan dengan kondisi mesin tetap menyala di gigi 1 tanpa rem adalah hal tersulit yang saya rasakan menjadi sopir. Memang ini butuh jam terbang tinggi. Lama-lama akan terbiasa.
Lengkap sudah diklat nyopir 3 hari bersama Cak Sudar. Satu hal yang membuat kita punya kekuatan super power. Dengan kepepet, semua hal yang tak mungkin tiba-tiba mungkin. Latihan nyetir 3 hari itu menjadi modal yang luar biasa dikemudian hari. Sekarang, buah manis telah saya petik. Mobil dengan merk apapun bisa dengan mudah saya sopiri. Saya bahkan bisa dengan mudah melewati berbagai jenis jalan. Jalan lurus, macet di jalan nanjak, hingga dijepak GPS nyasar di Hutan Tunggangan, Wonogori malam-malam pun pernah. Padahal jalan di Alas Tunggangan sangat berbahaya. Bahkan menurut saya melebihi bahayanya jalan di Tahura Cangar (Kota Batu - Pacet). Bagi teman-teman yang masih belajar, jangan menyerah. Skill akan terasah seiring jam terbang yang melimpah. Semoga pengalaman saya ini bermanfaat.
Mojosari, 9 Juni 2018
Posting Komentar untuk "Kepepet, 3 Hari Belajar Nyetir Mobil Untuk Berbagai Kondisi Jalan"