PPKM Darurat dan Odong-Odong Gagal Panen
Malam ini, saya sengaja keliling Kota Blitar. Berdua saja dengan Si Kecil Nadifah. Biar istri bisa istirahat di rumah. Sejak siang, istri mengeluh tidak enak badan. Pusing setengah mual. Saya wanti-wanti, jangan sampai sakit di tengah keadaan genting seperti sekarang.
Saya bujuk agar tidak terlalu menyimak berita di media apapun. Saya tahu, kabar di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ditambah kabar buruk dari kampung halaman yang selama 4 hari ini ada 4 kematian berturut-turut, hanya di satu dusun saja. Benar-benar bikin drop yang mendengar.
Sambil keliling kota, saya cari mainan yang bisa menghibur Si Kecil. Odong-odong. Ada langganan Odong-Odong di depan Stadion Supriyadi tiap malam minggu. Kali ini nihil. Sepi.
Saya lewat depan Sport Center Bendo, yang biasa ramai orang olahraga. Gelap gulita. Semua lampu dimatikan. Saya tak habis pikir. Bukankah dengan keadaan gelap gulita bakal rawan kejahatan?
Saya menuju pelataran parkir Bung Karno. Sepi. Warung pedagang kecil tutup. Tampak kejauhan, saya lihat odong-odong yang berputar-putar tanpa penumpang. Ada bapak-bapak duduk termenung dengan tatapan kosong.
"Masih bisa naik, Pak?"
"Oh Monggo, Mas".
Saya dudukkan putri saya di tengah odong-odong. Sambil menunggu, saya iseng menyinggung soal PPKM Darurat. Sepertinya beliau butuh teman curhat.
"Saya gagal panen, mas. Biasanya liburan sekolah gini, ramai-ramainya anak kecil main. Tapi sekarang, semua pada takut keluar rumah."
Saya lihat berkali-kali beliau mengusap mata.
"Banyak pedagang disini tutup, tapi saya coba bertahan, mas. Lha wong saya punya anak istri".
Beliau berharap, masih ada satu dua anak kecil yang naik odong-odongnya.
Meski harus berjuang hidup, beliau tetap harus memikirkan pajak odong-odongnya. Pajak bulanan dan tahunan. Belum lagi jika penghasilan hariannya harus bagi hasil dengan juragannya.
"Lho, kena pajak, Pak?"
"Njih, mas. Buat sewa tempat. Itupun masih saja kadang ditarik uang kebersihan dan keamanan".
Tiba-tiba, "jlep". Keadaan gelap.
Ternyata lampu pelataran sengaja dimatikan. Tepat pukul 20.00. Pemerintah benar-benar tak ingkar janji.
"Ngapunten mas, habis ini ada petugas yang keliling".
Saya paham isyarat beliau. "Pinten, pak"?
"5000 mawon, mas".
Saya sulit membayangkan, bagaimana bisa 5000 untuk nafkah, bayar pajak dan setor juragan.
"Niki pak. Pun tidak perlu kembalian, Pak"
"Saestu mas? Matur nuwun sanget, lho mas".
Saya lihat beliau dengan tergopoh, menutup odong-odongnya.
Ada perasaan lega di hati saya. Minimal malam ini, beliau bisa pulang dengan senyuman.
Posting Komentar untuk "PPKM Darurat dan Odong-Odong Gagal Panen"