Selama ramadan tahun ini, ada hal yang mengganggu pikiran saya. Mengganggu pikiran terus-terusan hingga sampai pada suatu level yang dinamakan kepikiran.
Awalnya, saya diberi selebaran jadwal oleh takmir masjid, beberapa hari sebelum ramadan tiba. Sudah saya duga. Jadwal imam shalat tarawih. Tahun lalu, saya hanya dapat jadwal di Masjid Baitul Hakim, kini bertambah satu masjid lagi. Masjid baru dekat Taman Bendo. Masjid Darul Muttaqin, yang bangunan masjidnya mirip dengan Masjid Graha NU Blitar. Alhamdulillah, saya senang karena dapat memberikan kontribusi ke masyarakat Blitar sesuai dengan yang saya bisa. Saya menyadari, saya tak punya siapa-siapa di Blitar. Sebagai gantinya, saya wajib mencari banyak saudara baru di Blitar. Oleh karenanya, menjadi imam tarawih bakal menjadi perantara untuk dikenal masyarakat.
Di Masjid Baitul Hakim, ada selebaran juga yang dipasang di papan pengumuman. Dibawah jadwal imam tarawih, ada jadwal ceramah subuh tiap hari selama ramadan. Ada nama-nama kyai dan ustadz yang biasa mengisi ceramah subuh tiap tahunnya. Dan ini, ada nama yang bikin saya kepikiran. Nama saya sendiri masuk di jadwal penceramah subuh. Dijadwal lima kali. Selama empat hari di pertengahan ramadan, dan satu lagi di malam ke-25. Wah, wah.
Sejujurnya, saya belum memiliki kompetensi sampai ke tingkat penceramah. Beda halnya jika diminta jadi imam shalat. Saya langsung mengiyakan. Alasannya, tata cara shalat sudah sangat jelas dan baku. Tinggal menyesuaikan bacaan surat saja, itupun surat-surat pendek. Paling banter, ditambahkan dzikir dan doa setelah shalat saja.
Kalau berceramah, lain lagi. Ada banyak variabel yang saya dipikirkan. Bagaimana topik ceramah, gaya bicara, pemilihan kata, intonasi, dan, aduh kok rumit banget ya. Intinya, memilih kata yang diucapkan tidaklah mudah. Walaupun itu hanya sekadar ceramah singkat. Istilahnya kultum. Kuliah terserah antum. Saya terlalu mempersulit diri sendiri.
Saya meyakinkan diri bahwa saya bisa. Sebenarnya, pengalaman saya berceramah sudah ada. Toh mengajar di kampus dengan berceramah juga, kan? Hanya topiknya yang berbeda. Ditambah pula, sebelum saya di Blitar, saya pernah menjadi sesuatu, yang membuat saya pernah berceramah di majelis ta'lim. Walau, topiknya juga berbeda. Khusus bacaan dan irama Al-Qu'ran. Jika ceramah subuh diajarkan tilawatil quran, tentu tidak cocok.

Saya ingin menemui takmir agar jadwal ceramah subuh saya bisa digantikan kyai yang kompeten. Eh, dicegah oleh istri.
"Udah, diterima saja, Bi".
"Kenapa, Uma?"
"Abi ini membawa nama besar kampus, lho! Bisa jadi, Abi dijadwal ceramah karena takmir tahu kalau Abi dosen Kampus NU. Masa dosen ndak bisa ceramah". Jawaban istri serasa menonjok diri saya.
Saya pikir-pikir, iya juga, ya.
Padahal, ada benarnya jika tidak semua dosen bisa ceramah, apalagi soal keislaman. Tapi menjelaskan itu ke masyarakat bakal jadi masalah rumit. Terlanjur bawa nama besar NU.
Takmir memang tahu kalau saya ngajar di UNU Blitar. Bahkan pernah, suatu ketika saya ditanya masalah prodi tempat saya mengajar. Saya jujur saja, sih. Cerita kalau saya ngajar di prodi ilmu komputer. Ya memang karena latar belakang keilmuan saya bidang informatika. Itu pun raut wajah mereka pada memandang saya dengan aneh. Ada wajah-wajah setengah tak percaya. Dikiranya saya dosen di Fakultas Agama Islam. Lucu juga ya.
Jika ceramah subuh disesuaikan dengan kompetensi saya di kampus. Ya tentu saja saya percaya diri. Jangankan lima pertemuan, satu semester pun saya siap. Bakal saya kupas tuntas tentang algoritma dan pemrograman, pengolahan citra hingga process mining. Tapi apa iya senekat itu. Bisa-bisa jamaah pada bengong, terus geger satu masjid.
Oleh karenanya, saya sampai pada suatu kesimpulan jika salah satu sebab saya "diterima" di Masjid Baitul Hakim karena faktor tempat saya mengabdi sekarang. Kampus NU. Sementara masjid-masjid di lingkungan saya tinggal sangat NU ndeles. Masalah ubudiyah sangat NU kultural. Sementara jamaahnya beragam. Dari jamaah tabligh sampai salafi, ada semua.
Salah satu sesepuh takmir, Pak Akhwani pernah bercerita, umur beliau sudah sepuh, beliau terbuka pada generasi muda. Kata beliau, "Masjid iki kudu enek sing nerusne, sing penting kudu wong NU, ben aku sing bagian dungo, wae". Beliau meyakini, dosen kampus NU yo mesti NU-ne ndeles. Saya mengiyakan. Keyakinan beliau adalah sebuah doa.
Maka, soal ceramah subuh tadi, urusannya jadi ndak main-main. Jika saya menolak berceramah, saya takut takmir masjid pada heran. "Jarene dosen kampus NU, kok ra iso ceramah, piye, jal?". Namun sebaliknya, kesediaan saya berceramah bakal membawa nama baik kampus. Secara tak langsung, ada promosi terselubung didalamnya. Bisa jadi, malah menjadi wasilah bagi para jamaah untuk mendorong putra putrinya kuliah di UNU Blitar. "Le, kuliah o neng UNU wae, mesti kampus e apik, kuwi. Wong dosen e wae iso ceramah subuh". Bisa jadi, kan?
Jika kali ini saya diberikan amanah untuk berceramah subuh. Saya meyakinkan diri dan memantapkan hati. Bismillah, insya Allah siap.
Membawa embel-embel dosen amat berat. Kadang dianggap intuelek dan nguerti banyak hal. Padahal yo ndak segitunya.
Wallahu A'lam.
Posting Komentar untuk "Kepikiran Ceramah Subuh"