Zona Merah Corona dan Masyarakat Lugu
Khusus wilayah Jawa Timur, perkembangan terkini wabah pandemi virus corona cukup menggembirakan. Setidaknya hari ini, 25 Maret 2020 tidak ada penambahan jumlah penderita yang dinyatakan positif. Entah sampai kapan kondisi ini bertahan, karena data yang ter-confirm positif fluktuatif dan unpredictable. Bisa jadi hari ini belum ada karena menanti hasil tes. Bagaimana dengan besok? lusa? besoknya lusa? Entahlah. Hari demi hari saya dihantui dengan perasaan was-was dan penasaran, pertanyaan muncul dengan sendirinya dari lubuk hati, berapa penambahan penderita positif hari ini? saya berusaha untuk melupakan. Masih terpikirkan. Ayo lupakan. Eh, masih saja terpikirkan. Padahal pikiran was-was ini justru mengganggu imunitas, yang konon, imunitaslah perisai diri dari wabah mengerikan ini. Bagaimana tidak was-was, saya harus tinggal di wilayah yang telah dinyatakan sebagai zona merah corona di Provinsi Jawa Timur, Kota Blitar. Kota ini bersama Kab. Blitar menjadi satu kawasan bernama Blitar Raya, yang disitus resmi Pemerintah Jawa Timur berwarna merah terang, bersama dengan Kota Surabaya, Kab. Magetan, Kab. Sidoarjo, serta Malang Raya. Artinya, di wilayah zona merah itu telah ada penderita positif corona, yang kemungkinan besar bisa menulari calon penderita lain yang tinggal di wilayah itu.
Minggu, 22 Maret 2020. Kabar mengejutkan secara masif menyebar di WAG kampus tempat saya mengabdi. Ada 1 penderita positif dari Blitar. Simpang siur, entah dari Kota atau Kabupaten. Kabar yang pasti adalah penderita itu datang dari perantauan yang wilayahnya lebih dulu ter-confirm kasus corona. "Abi ndak perlu ke blitar ya, kan ada yang kena corona", bujuk istri saya. "Ndak papa umma, kan Blitar ini luas banget to, mungkin yang kena wilayah Blitar yang jauh dari tempat tinggal kita", kilah saya. Memang kenyataannya Blitar Raya amat luas, dari Selorejo di ujung timur sampai Udanawu di ujung barat hampir 3 jam perjalanan. Namun sebenarnya bukan itu alasan utama. Walau kampus sudah meliburkan mahasiswa dan dosen, saya tetap memiliki tanggungjawab tambahan selain menjadi dosen. "Mahasiswa boleh libur mas, tapi pelayanan dan pengembangan kampus tetap berjalan, bahkan harus berlari, kampus ini sebentar lagi menjadi kampus besar", pesan visioner Pak Rektor selalu terngiang.
Senin pagi, 23 Maret 2020, saya baru tiba di Kota Blitar bersama istri dan anak tercinta, Nadifah. Puluhan pesan masuk via WAG. Tersiar kabar rilisnya hasil tracing pasien yang positif corona oleh Dinas Kesehatan Kab. Blitar. Ternyata beliau datang dari Bogor, beralamatkan di Kec. Nglegok, daerah yang pasti saya lalui ketika pulang kampung. Tapi bukan itu masalahnya. Beliau sempat ke rumah orang tuanya di Kec. Kepanjenkidul. Deg. Kecamatan yang sama dengan tempat tinggal saya. Rincian alamatnya dimana? Tidak dibuka ke publik. Saya bertanya ke teman-teman kampus. Kepanjenkidul mana? Nihil. Tidak tahu pasti.
Selepas maghrib, sebagai tetangga yang baik, saya bertamu ke tetangga sebelah rumah bersama istri dan anak. Pas banget kita punya anak yang hampir seumuran, jadi bisa sering-sering main. Biasa saya panggil ustadz, karena memang pelatih banjari dan qiroah yang handal, juga jadi guru matematika, PAI, kesenian dan lain-lain, multi talent banget emang. "Tadz, denger-denger ada yang kena corona di Blitar, bener yah?" saya iseng-iseng tanya, "Bener tadz, katanya KTP Nglegok, tapi sebenarnya tempat tinggalnya di sini, di Bendo tadz. Orang tuanya punya orang di Bendo, nah dia datang dari bogor ke rumah orang tuanya, orang seisi rumah sudah diisolasi entah dimana". Deg. Deg kali ini lebih dalam. "Bendo mana tadz? tetangga kita dong?" jantung saya berdebar. "di Gang sebelah tadz, deket perempatan tong, sudah disemprot disinfektan. Untungnya orangnya jarang tetanggaan tadz, baik anak maupun orang tuanya, tapi...". "Kenapa tadz?", saya makin deg-degan. "Orangnya punya pembantu, pembantunya itu jamaah yasinan, dan sempat salaman sama saya, tadz". Reflek saya geser 1 meter. Sosial distancing katanya. Guyonan seligus ungkapan ngeri. Saya seakan-akan berada di wilayah antah berantah yang didalamnya ada harimau liar, bebas berkeliaran dan kelaparan. Siap menerkam siapa saja, tapi tidak ada yang tahu dimana harimau itu berpindah-pindah mencari mangsanya.
Saya menyadari, ini bukan mimpi buruk, lebih parah dari itu, realita yang buruk. Jika ada istilah intinya inti dari Pak Ndul, harusnya ada zona merahnya merah. Istilah itu inisiatif saya, jangan terlalu diambil hati. Dengan demikian, kampung tempat saya tinggal adalah zona merahnya merah. Sangat berbahaya dan beresiko. Maka, sebagai warga negara yang baik, sebisa mungkin saya dan keluarga ikuti instruksi pemerintah, di rumah saja. Keluar hanya untuk keperluan penting, kerja dan belanja. Sebenarnya ada lagi sih, ini yang akhir-akhir ini sensitif dan kontroversial, "Sholat jamaah di Masjid, di tengah gempuran wabah". Jarak masjid dan rumah saya hanya selemparan batu. Tetap aktif mengadakan sholat jamaah 5 waktu walau sudah jadi zona merahnya merah. Saya amati jamaahnya. Biasa saja, seperti biasanya. Agak ramai di waktu Maghrib, Isya, Shubuh dan sepi di waktu Dhuhur dan Ashar. Ada atau ndak ada corona pun ya gitu-gitu aja.
Sengaja saya ikutan nimbrung di teras masjid, kebiasaan setelah sholat jamaah. Beberapa ada yang batuk-batuk. Tanpa masker. "Biuh, biasa e watuk pilek ora ono masalah, tapi saiki aku watuk pilek malah mikir urip, yo mung gara-gara korona kuwi", celetuk jamaah. "Lah iyo, omahe tonggoku sing positif korona kuwi bolak balik disemprat-semprot wae. Sak dalan ngarep omahe. Gumun aku, padahal kan wes kudanan." Saya ingin ketawa ngakak, takut dosa. Jamaah yang notabene masyarakat sekitar masjid ini memang lugu-lugu, keluguan khas masyarakat desa yang apa adanya. Maksud lugu disini adalah tidak banyak tingkah, bersahaja dan terkesan hidup biasa wae. Kadang pola pikirnya out of the box, sebagaimana air hujan yang bisa menggantikan fungsi disinfektan. "Jane nyapo Blitar iki di ora lokdon wae to! ben viruse ra nyebar.", "Nek di lokdon, engko kowe ra iso ngarit neeeh!". "grrrrr". Kali ini mereka ngakak bareng. Saya tak sungkan ngakak juga. Kadang-kadang keluguan ini malah justru menghibur.
Saya amati keadaan masyarakat di kampung tampat saya tinggal. Serasa tak ada apa-apa. Biasa saja. Saya pergi antar istri beli sayur, ramai orang belanja. Jarang sekali yang pakai masker. Maklum sih, masker langka dan harga selangit. Keadaan serasa tak ada apa-apa. All is well. Ada kuli bangunan, tukang, pedagang sayur, petani, dan orang lalu lalang, hidup normal seperti biasa. Serasa tak ada apa-apa. Karena seluruh aktivitas pendidikan libur, jadi keadaan lebih sepi daripada biasanya. Beberapa kali saya lihat polisi patroli keliling untuk memastikan tidak ada tempat berkerumun orang banyak. Ibu-ibu yang ramai beli sayur termasuk kategori kerumunan apa tidak? entahlah. Keadaan ini cukup menentramkan saya. Suasana biasa saja ini membuat masyarakat hidup tenang. Tapi ada sisi lain, yang tak kalah mengerikan. jangan-jangan keadaan ini malah menyimpan api dalam sekam. Siap membara kapan saja. Jangan sampai keluguan masyarakat memberi kesan biasa-biasa saja pada pandemi yang menakutkan ini, sehingga menjadi kurang hati-hati dalam mencegah penyebaran. Semoga tidak terjadi hal yang lebih buruk, saya yakin itu perasaan saya saja, lupakanlah! Terlalu pedih menengok masyarakat lugu ini menderita lahir batin karena wabah. Semoga Blitar Raya dan seluruh wilayah di Indonesia, segera pulih dari wabah corona. Amiin.
Selepas maghrib, sebagai tetangga yang baik, saya bertamu ke tetangga sebelah rumah bersama istri dan anak. Pas banget kita punya anak yang hampir seumuran, jadi bisa sering-sering main. Biasa saya panggil ustadz, karena memang pelatih banjari dan qiroah yang handal, juga jadi guru matematika, PAI, kesenian dan lain-lain, multi talent banget emang. "Tadz, denger-denger ada yang kena corona di Blitar, bener yah?" saya iseng-iseng tanya, "Bener tadz, katanya KTP Nglegok, tapi sebenarnya tempat tinggalnya di sini, di Bendo tadz. Orang tuanya punya orang di Bendo, nah dia datang dari bogor ke rumah orang tuanya, orang seisi rumah sudah diisolasi entah dimana". Deg. Deg kali ini lebih dalam. "Bendo mana tadz? tetangga kita dong?" jantung saya berdebar. "di Gang sebelah tadz, deket perempatan tong, sudah disemprot disinfektan. Untungnya orangnya jarang tetanggaan tadz, baik anak maupun orang tuanya, tapi...". "Kenapa tadz?", saya makin deg-degan. "Orangnya punya pembantu, pembantunya itu jamaah yasinan, dan sempat salaman sama saya, tadz". Reflek saya geser 1 meter. Sosial distancing katanya. Guyonan seligus ungkapan ngeri. Saya seakan-akan berada di wilayah antah berantah yang didalamnya ada harimau liar, bebas berkeliaran dan kelaparan. Siap menerkam siapa saja, tapi tidak ada yang tahu dimana harimau itu berpindah-pindah mencari mangsanya.
Saya menyadari, ini bukan mimpi buruk, lebih parah dari itu, realita yang buruk. Jika ada istilah intinya inti dari Pak Ndul, harusnya ada zona merahnya merah. Istilah itu inisiatif saya, jangan terlalu diambil hati. Dengan demikian, kampung tempat saya tinggal adalah zona merahnya merah. Sangat berbahaya dan beresiko. Maka, sebagai warga negara yang baik, sebisa mungkin saya dan keluarga ikuti instruksi pemerintah, di rumah saja. Keluar hanya untuk keperluan penting, kerja dan belanja. Sebenarnya ada lagi sih, ini yang akhir-akhir ini sensitif dan kontroversial, "Sholat jamaah di Masjid, di tengah gempuran wabah". Jarak masjid dan rumah saya hanya selemparan batu. Tetap aktif mengadakan sholat jamaah 5 waktu walau sudah jadi zona merahnya merah. Saya amati jamaahnya. Biasa saja, seperti biasanya. Agak ramai di waktu Maghrib, Isya, Shubuh dan sepi di waktu Dhuhur dan Ashar. Ada atau ndak ada corona pun ya gitu-gitu aja.
Sengaja saya ikutan nimbrung di teras masjid, kebiasaan setelah sholat jamaah. Beberapa ada yang batuk-batuk. Tanpa masker. "Biuh, biasa e watuk pilek ora ono masalah, tapi saiki aku watuk pilek malah mikir urip, yo mung gara-gara korona kuwi", celetuk jamaah. "Lah iyo, omahe tonggoku sing positif korona kuwi bolak balik disemprat-semprot wae. Sak dalan ngarep omahe. Gumun aku, padahal kan wes kudanan." Saya ingin ketawa ngakak, takut dosa. Jamaah yang notabene masyarakat sekitar masjid ini memang lugu-lugu, keluguan khas masyarakat desa yang apa adanya. Maksud lugu disini adalah tidak banyak tingkah, bersahaja dan terkesan hidup biasa wae. Kadang pola pikirnya out of the box, sebagaimana air hujan yang bisa menggantikan fungsi disinfektan. "Jane nyapo Blitar iki di ora lokdon wae to! ben viruse ra nyebar.", "Nek di lokdon, engko kowe ra iso ngarit neeeh!". "grrrrr". Kali ini mereka ngakak bareng. Saya tak sungkan ngakak juga. Kadang-kadang keluguan ini malah justru menghibur.
Saya amati keadaan masyarakat di kampung tampat saya tinggal. Serasa tak ada apa-apa. Biasa saja. Saya pergi antar istri beli sayur, ramai orang belanja. Jarang sekali yang pakai masker. Maklum sih, masker langka dan harga selangit. Keadaan serasa tak ada apa-apa. All is well. Ada kuli bangunan, tukang, pedagang sayur, petani, dan orang lalu lalang, hidup normal seperti biasa. Serasa tak ada apa-apa. Karena seluruh aktivitas pendidikan libur, jadi keadaan lebih sepi daripada biasanya. Beberapa kali saya lihat polisi patroli keliling untuk memastikan tidak ada tempat berkerumun orang banyak. Ibu-ibu yang ramai beli sayur termasuk kategori kerumunan apa tidak? entahlah. Keadaan ini cukup menentramkan saya. Suasana biasa saja ini membuat masyarakat hidup tenang. Tapi ada sisi lain, yang tak kalah mengerikan. jangan-jangan keadaan ini malah menyimpan api dalam sekam. Siap membara kapan saja. Jangan sampai keluguan masyarakat memberi kesan biasa-biasa saja pada pandemi yang menakutkan ini, sehingga menjadi kurang hati-hati dalam mencegah penyebaran. Semoga tidak terjadi hal yang lebih buruk, saya yakin itu perasaan saya saja, lupakanlah! Terlalu pedih menengok masyarakat lugu ini menderita lahir batin karena wabah. Semoga Blitar Raya dan seluruh wilayah di Indonesia, segera pulih dari wabah corona. Amiin.
wahh, keren banget... bahasanya simpel mudah dipahami... btw, keep safe ya... jaga diri, lingkungan dan keluarga :)
BalasHapusTerima kasih sudah mampir gan
Hapus