Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Tentang Dupa, Aroma Kemusyrikan?


Ketika saya kecil dulu, dupa adalah barang yang sangat menakutkan bagi saya. Bagaimana tidak, saya selalu dijejali suguhan dan cerita-cerita seram yang mengatakan bahwa dupa biasa digunakan untuk memanggil mahkluk halus, seperti pocong, gendruwo, hingga kuntilanak. Bahkan, Hal itu diperparah oleh banyaknya tontonan yang kurang mendidik di layar televisi yang memperlihatkan kesan bahwa dupa selalu digunakan oleh mbah dukun untuk keperluan mistis. Selain itu, hal yang menambah kesan menakutkan pada dupa adalah kegunaannya untuk prosesi sesembahan dan sesajen. Sering saya jumpai dupa dengan berbagai versi terlihat menghiasi sudut-sudut area percandian, situs kuno, pohon-pohon besar hingga makam keramat sekalipun. Meski bagi sebagian penganut aliran tertentu, penggunaan dupa untuk peribadatan adalah hal lumrah, namun bagi saya yang tidak terbiasa tetap saja takut. Kenangan masa kecil tersebut masih terpatri menjadi sebuah paradigma bahwa dupa pastilah digunakaan untuk keperluan ritual-ritual mistik.

Beberapa tahun berlalu, hingga saya menjadi mahasiswa seperti sekarang. Tinggal di kota unik seperti Malang menjadikan saya dapat bergaul dan berkomunikasi dengan berbagai kalangan yang berbeda faham dan ideologi. Terutama dalam ideologi keislaman. Seringkali saya sholat jumat di sebuah masjid yang pada saat muqaddimahnya, khatib selalu menyebut hadist rasulullah tentang kebid'ahan dan kesyirikan. Khatib tiada henti memberikan nasehat betapa banyak umat islam yang terjebak dengan nuansa kesyirikan jahiliyyah, yang mengadakan alaman-alaman baru yang tiada pernah dicontohkan oleh baginda Rasullullah, kemudian mencontohkan amalan-alaman yang sering dilakukan oleh salah satu organisasi islam sebagai alaman bid'ah dan penuh aroma syirik. Jika pendapat khatib tadi saya kaitkan dengan penggunaan dupa, maka tak pelak dupa juga akan menjadi sasaran empuk sebagai biang daripada kemusyrikan. Sekalipun dupa sendiri tidak pernah tahu untuk apa ia akan digunakan, namun ia terlanjur di cap sebagai penebar teror kesesatan umat islam.

Sebuah kisah,telah mengantarkan saya untuk lebih berkhusnudzon terhadap dupa. Ketika menghadiri majelis sholawat diba', teryata saya menjumpai wadah tungku kecil yang biasa dipakai dukun ada ditempat majelis tersebut. Tak lama setelah majelis sholawat dimulai, dupa sejenis menyan arab pun mulai dinyalakan hingga aroma wewangian khas dupa menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Saya mulai berfikir macam-macam, jangan-jangan majelis ini juga berniat melakukan pemanggilan makhluk halus, atau mungkin sedang menjalani ritual tertentu. Bahkan, karena fikiran saya sudah kadung ternodai oleh pemahaman bahwa dupa adalah barang mistik dan biang kemusyrikan, saya sampai menuduh bahwa penggunaan dupa dalam majelis sebagai pencampur adukan antara yang hak dan yang bathil.
Kisah berlanjut ketika teman-teman yang rutin mengaji di asrama saya membeli tungku dupa elektronik, alasannya agar tidak perlu repot-repot membakar arang untuk menyalakan menyan arab. Tak berhenti sampai disitu saja, saya lebih kaget ketika guru mengaji saya juga membawakan dupa sejenis lidi kecil yang biasa dipakai umat hindu untuk bersembahyang agar dinyalakan ketika kegiatan mengaji berlangsung. Saya sampai berkata sinis dalam hati, "Ini apa-apan, ngaji kok sampai bakar dupa?". Seakan mengerti dengan apa yang saya fikirkan, beliau, guru ngaji saya menyampaikan pandangan mengapa sampai membakar dupa. Beliau menjelaskan dengan gamblang bahwa dupa sering difitnah sebagai alat kesyirikan, padahal sebenarnya kesyirikan sendiri hanya dapat diketahui melalui niat seseorang yang menggunakan dupa tersebut. Jika kita niatkan dupa sebagai alat sesembahan selain Allah, jelas itu kesyirikan, hal itu haram untuk dilakukan. Namun, jika kita membakar dupa hanya sebatas untuk wewangian ruangan, apa itu kesyirikan? Tentu saja tidak. Lebih jauh beliau menambahkan, jangankan hanya dupa, bahkan alat-alat modern yang berada disekitar kita juga rawan terhadap kemusyrikan, seperti uang, HP, laptop, motor, dll, itu semua bergantung bagaimana niat kita dalam memperlakukan mereka.

Kini saya tahu bahwa penggunaan dupa dalam sebuah majelis adalah sebagai alat wangi-wangian, saya dulu menuduh ini aneh karena saya tidak terbiasa menggunakan dupa untuk wewangian. Andaikata teman-teman dan guru saya membawakan sebuah parfum untuk wewangian, akankah saya menuduh itu aneh? Tentu saja tidak, karena saya terbiasa menggunakan parfum untuk wewangian. Intinya dupa sama saja dengan parfum yang berfungsi sebagai wewangi ruangan. Yang lebih mengesankan adalah guru saya menuturkan bahwa ternyata banyak hadist Rasulullah yang berkisah tentang penggunaan dupa berupa kayu gaharu yang juga berfungsi sebagai sumber wewangian. Itulah sebabnya, mengapa banyak ulama-ulama yang dalam majelisnya menggunakan dupa sebagai pengharum ruangan, karena ada dasarnya, mencontoh Rasulullah. Bukankah malaikat Allah juga menyukai bau harum? Akhirnya, saya pun harus memperbanyak istighfar karena sempat ikut-ikutan menuduh sunnah rasulullah ini sebagai biang kemusyrikan, akibat kebodohan dan ketidaktahuan saya. Jika kita tahu bahwa aroma dupa adalah salah satu kesunnahan, akankah kita masih menyebut dupa sebagai sumber aroma kemusyrikan?

Wallahu A'lam Bisshowab

Posting Komentar untuk "Kisah Tentang Dupa, Aroma Kemusyrikan?"