Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lulus Sarjana Tanpa Skripsi, Apa Bisa?


Sempat terbersit dipikiran saya, dulu, enam tahun lalu. Mungkinkah bisa lulus sarjana tanpa mengerjakan skripsi? Waktu itu jawabnya jelas, tidak mungkin. Sudah baku dan pakem, lulusan S1 harus menghasilkan skripsi. 

Tentu, bukan bermaksud untuk menghindar dari kewajiban menulis skripsi. Hanya prihatin saja.

Prihatin menengok berjilid kertas menumpuk jadi satu. Membatu di pojok pintu. Useless. Entah berapa rim kertas terbuang saat proses bimbingan, ujian proposal, revisi proposal, ujian skripsi hingga revisi skripsi. Ujungnya, hanya dua eksemplar yang dikumpulkan sebagai arsip jurusan dan universitas. 

Eh, ada satu eksemplar lagi. Saya pajang di lemari rumah. Nasibnya sama seperti hiasan lain di ruang tamu. Jadi pemanis mata. Belum pernah ada tamu yang datang lalu tertarik baca skripsi saya.

Saya beruntung. Pembimbing saat itu, menyarankan agar hasil penelitian skripsi dituliskan pula jadi paper ilmiah. Calon mahasiswa S2 harus terbiasa menulis paper berbahasa inggris, katanya. Tidak tanggung-tanggung, sasarannya adalah International Conference on Information & Communication Technology and System (ICTS) tahun 2016. Itulah konferensi internasional bergengsi dan terindeks database bereputasi. Penyelenggaranya adalah almamater baru saya, ITS.  

Hasilnya, sudah bisa ditebak. Tidak menunggu lama, paper saya rejected. Jadi bulan-bulanan reviewer.  Dikatakannya, paper saya lebih mirip project report dibandingkan research paper. Nihil kontribusi ilmiah. Malah, seperti umumnya skripsi informatika, paper saya terlalu menonjolkan screenshot interface aplikasi. 

Belajar dari pengalaman itu, cara penyajian dirombak ulang. Atmosfer akademik di level magister, mengajarkan saya banyak hal tentang tatacara penulisan paper ilmiah. Di tahun berikutnya, paper yang dipoles ulang itu dinyatakan accepted. Padahal, hasil riset tidak berubah. Hanya cara penyajian yang berbeda. 

Jika mengamati Google Scholar saya, paper itu kini menempati urutan dua teratas untuk sitasi terbanyak. Lain halnya dengan naskah skripsi aslinya, nihil sitasi, meski sama-sama nangkring di Google Scholar. Artinya, skripsi yang dikonversi menjadi paper ilmiah justru akan menaikkan reputasi hasil risetnya. Saya yakin, para peneliti lebih memilih mengutip paper di jurnal ilmiah/conference daripada mengutip skripsi. 

Sejak awal menjadi dosen, saya berharap agar mahasiswa bimbingan saya kelak tidak perlu menulis skripsi. Cukup tuliskan saja hasil penelitian dalam paper ilmiah 8-12 halaman. Hemat kertas, lebih ringkas, penjelasan tidak bertele-tele dan to the point. Namun, jika tidak ada kebijakan yang mendukung, harapan itu tetap sia-sia.

Diluar dugaan. Ternyata gayung bersambut. Hadirlah kebijakan merdeka belajar kampus merdeka (MBKM) yang menjadikan proses akademik kian fleksibel. Bukan hanya soal perkuliahan, magang, ataupun KKN. Penyelesaian skripsi sekalipun bisa dibuat fleksibel. 

UNU Blitar saat itu, meresponnya dengan positif. Tidak sedikit mahasiswa yang mengkonversi SKS-nya melalui jalur magang di industri, lolos hibah program kreativitas mahasiswa, bahkan melalui program kampus mengajar. 

Fleksibilitas MBKM itu nyatanya sempat mengguncangkan pilar akademik di kampus-kampus. Sempat heboh. Kontroversial. Ada hal-hal yang selama ini dianggap sudah pakem dan baku, nyatanya terpaksa harus adaptif.  Terjadilah semacam shock culture akademik. Pun di UNU Blitar. Soal penyelesaian skripsi, misalnya. 

Penghujung 2020, terdapat keputusan Rektor UNU Blitar yang visioner, berani bahkan melampaui zamannya. Rektor  menetapkan kewajiban penyelesaian skripsi dialih bentuk menjadi artikel ilmiah. Lalu menetapkan publikasi ilmiah sebagai syarat pendaftaran yudisium.

Tentu, alasannya logis, UNU Blitar belum memiliki cukup ruang untuk menyimpan ratusan naskah skripsi. Selain itu, dosen akan terbantu mendapatkan poin angka kredit dari publikasi mahasiswa bimbingannya. Lebih lagi, tambahan publikasi mahasiswa bakal mendongkrak peringkat UNU Blitar di SINTA Kemdikbud. Terbukti, saat SINTA masih versi 2, UNU Blitar sempat memiliki peringkat SINTA terbaik tingkat PTNU berbadan hukum perkumpulan NU. Menjadikan ini kebijakan yang dibayar kontan dengan prestasi. 

Meski realisasinya sempat heboh. Pro-kontra. Tidak sedikit dosen yang berpandangan pada paradigma lama, skripsi harus berbentuk buku seperti pada umumnya. Baru luaran skripsi dapat dirupakan dalam artikel ilmiah. Secara pribadi, saya mengapresiasi dan mendukung kebijakan itu. Tentu, selalu ada plus-minusnya.

Ketika Rektor UNU Blitar berganti, kebijakan penyelesaian skripsi disempurnakan. Mahasiswa diberikan kebebasan dengan dua opsi, tetap menyusun skripsi atau jalur artikel ilmiah tanpa skripsi. 

Menariknya, jika memilih jalur artikel ilmiah, nilai skripsi didapatkan tanpa melalui proses sidang skripsi. Cukup konversi dari artikel ilmiah ke nilai skripsi. Pembimbing satu dan dua yang memiliki kewenangan penuh menilai konversi itu.

Akan tetapi, ada syarat lain yang cukup berat. Artikel ilmiah harus dinyatakan diterima. Dibuktikan dengan adanya LoA dari jurnal ilmiah minimal SINTA 4. Syarat tambahannya, mahasiswa tidak diperkenankan menerbitkan artikelnya di jurnal ilmiah milik UNU Blitar sendiri. Jika syarat tidak terpenuhi, jangan harap dapat nilai konversi. Ujungnya, mahasiswa mau tidak mau harus dikembalikan ke pakem asal. Menyusun skripsinya.

Sebagai pembimbing, saya anggap syarat itu sebagai tantangan. Beratnya tantangan bakal melahirkan mental yang tangguh. Saya tetap setia dengan prinsip, mengutamakan artikel ilmiah sebagai alternatif pengganti skripsi. Ketika ada mahasiswa datang mengajukan saya sebagai pembimbingnya, saya berikan kebebasan memilih skripsi atau artikel ilmiah. Tentu dengan pertimbangan plus-minus dan konsekuensinya masing-masing. 

Dari sekian mahasiswa bimbingan saya, sejauh ini hanya dua mahasiswa yang pilih menyusun skripsi. Mayoritas bersedia diajak berjuang di jalur anti mainstream. Menyusun artikel ilmiah. 

Minggu lalu, perjuangan itu itu mengukirkan sejarahnya. Capaian baru tercipta. Ada lima mahasiswa ilmu komputer angkatan 2018 dan dua angkatan 2017 yang lulus skripsi tanpa mengerjakan skripsi. Lima mahasiswa berhasil menerbitkan artikel di jurnal ilmiah SINTA 4, satu lagi di jurnal ilmiah SINTA 4 berbahasa inggris, sementara satu lagi melampaui target, artikelnya tembus jurnal ilmiah SINTA 3 berbahasa inggris. Padahal sekaliber luaran tesis saja masih jurnal ilmiah SINTA 3 dan 4. Tentu ini prestasi yang membanggakan. 

Jangan dikira UNU Blitar kampus baru lalu tidak bisa bersaing. Capaian ini membuktikan, publikasi mahasiswa UNU Blitar, terutama prodi ilmu komputer tidak layak dipandang remeh. Ini sering saya sampaikan untuk memacu semangat juang mahasiswa.

Saat ini, jika membandingkan jumlah publikasi ilmiah tiap prodi di UNU Blitar, prodi ilmu komputer bakal menempati peringkat tertinggi. Terimakasih atas semangat juang para mahasiswa.  

Selamat. Publikasi ini menjadi modal berharga bagi lulusan yang kelak melanjutkan ke jenjang magister. 


Kini jika pertanyaan itu diulang lagi, lulus sarjana tanpa skripsi, apa bisa? Tidak perlu lagi saya jawab. Mereka sudah membuktikan.

Posting Komentar untuk " Lulus Sarjana Tanpa Skripsi, Apa Bisa?"