Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Alumni Pondok Mana?


Sesekali ada yang bertanya begini, "Njenengan alumni pondok mana, Mas?"

Saya berujar dengan tegas, "saya alumni pondok ramadhan, Pak".

Saya menjawabnya serius, tapi yang bertanya malah ngakak. 

Padahal memang benar, saya alumni pondok ramadhan di sekolah kebanggaan saya, SMA Negeri 1 Mojosari.

Selama tiga tahun saya menimba ilmu, pondok ramadhan selalu hadir laksana embun spiritual di tengah derasnya tuntutan intelektual untuk para siswa. 

Wajar saja, angkatan saya adalah angkatan pertama saat sekolah ini dinobatkan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), bersama SMA Negeri 1 Sooko. Bagi saya, tentu ada beban lebih, terutama ketika mempelajari buku paket tebal yang bilingual itu. Perasaan insecure bertambah kala harus bersaing dengan kawan sekelas yang semuanya pintar. Otak saya yang biasa-biasa ini sering pening. Sayang, istilah RSBI menghilang seiring dengan lulusnya angkatan saya. 

Di bangku SMA, saya merasa lebih antusias di bidang keislaman. Mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi efeknya lumayan. Tidak jarang, teman sekelas menyodorkan nama saya untuk mimpin doa. Doa ketika upacara bendera contohnya. Jadilah selama tiga kali kelas kami jadi pelaksana upacara, tiga kali pula saya jadi pembaca doa. 

"Wajahmu kayak orang Alim, Bah. Pantes mimpin doa", kata ketua kelas.

Sejak itu, teman sekelas terprovokasi untuk manggil saya Abacha, singkatan dari Abah Charis. Anggapannya, kalau wajahnya kayak orang alim berarti pemahaman agamanya juga bagus. Paham menyimpang macam apa ini.

Saat dapat informasi adanya lomba adzan antar kelas, saya langsung terpilih secara aklamasi untuk maju. 

Hasilnya tidak mengecewakan, tahun pertama lomba adzan, saya jadi juara pertamanya. Tahun kedua, entah mengapa, saya lagi juaranya. Di tahun ketiga, kelas saya sudah pede untuk euforia ketigakalinya. Waktu itu, Pak Ulil sebagai juri lomba berseloroh, "Ris, dirimu kan sudah dua tahun juara adzan, kali ini anggap saja dirimu bintang tamu, kasian adik-adikmu tidak pernah juara". 

Saya didiskualifikasi dari peserta lomba. Menyedihkan memang. Tapi saya menyadari, regenerasi mutlak diperlukan. Ini juga pernah saya alami waktu lomba di SMP, didiskualifikasi di tahun ketiga. 

Andai, waktu SNMPTN dulu ada Prodi S1 Adzan dan Iqamah, InsyaAllah saya langsung diterima jalur prestasi. Prestasi juara adzan bagi saya amat prestisius. Pengganti nilai akademik yang biasa-biasa saja. 

Pak Mahrus, yang waktu itu juga menjadi juri lomba adzan menyemangati, "levelmu bukan lagi lomba antar kelas, Ris. Sudah tingkat kabupaten". 

Ucapan beliau bertuah, saya benar-benar meraih Juara 1 se-Kabupaten. Bukan lagi lomba adzan, melainkan Musabaqoh Tilawatil Quran tingkat SMA.  

Saya merasa makin dikenal karena dianggap berprestasi di bidang keislaman. 

Sampai suatu hari ketika pondok ramadhan, saya ingat betul waktu dipaksa memberikan ceramah di aula tengah. Duet bareng bersama Khudlori, kawan sekelas yang tingkat kepedean dan lawakannya diatas rata-rata. Gaya ceramahnya sangat merakyat dan mudah dicerna. 

Saya yang gugup tak biasa ceramah, akhirnya pilih mundur alon-alon. Saya batal ngasih ceramah. Sudah minder duluan. Khudlori punya potensi menjadi da'i hebat. Saya mending bagian adzan sama qiroah-nya saja.

Sesudah 10 tahun menyandang gelar alumni, kesempatan silaturahmi ke Smansa Mozar kesampaian juga. 

Pondok Ramadhan kini dikemas dengan sentuhan kreativitas. Saya bangga sekolah saya kini punya radio dan TV Voice of Smansa (VOS). Saya berkesempatan menemani Bu Nurul dan Pak Bambang untuk siaran radio dalam tajuk Lentera Qolbu. 

Saya tidak berhasil meyakinkan Bu Nurul, jika beliau salah orang jika mengundang saya jadi bintang tamu. 

Tapi tak apa. Ternyata siaran lewat radio asik juga. Tentu jadi inspirasi untuk mengembangkan radio dan TV di Kampus UNU Blitar. Toh sekarang zamannya streaming. Asal ada internet, perlengkapan podcast serta ruang studio, semua bisa diatur. 

Saya sungkem wolak-walik ke para guru di SMA Negeri 1 Mojosari yang telah mendidik kami dengan baik. Semoga Allah senantiasa limpahkan rahmat dan pahala-Nya untuk guru kami, atas didikan intelektual, mental, dan spiritual. Tiada murid hebat tanpa didikan guru yang hebat pula. 

Oleh karenanya, saya tak perlu ragu jika ada yang bertanya, "alumni pondok mana, Mas?"

Saya jawab, "alumni pondok ramadhan". 

Saya serius, jangan ditertawakan.

Posting Komentar untuk " Alumni Pondok Mana?"