Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beasiswa Dosen dan Impian Kuliah Doktor



Penghujung tahun 2019, saya memberanikan diri untuk membuka pembicaraan perihal studi lanjut kepada Rektor UNU Blitar, Prof. Zainuddin. Sebagai seorang dosen muda yang sedang punya semangat berlebih, saya mendambakan segera kuliah di jenjang tertinggi akademik, program doktor. Mumpung kebutuhan keluarga belum banyak. Mumpung anak masih kecil. Mumpung otak masih bisa diperas. Mumpung kesempatan beasiswa terbuka lebar. Serta banyak lagi mumpung mumpung yang lain. 

Saat itu, beliau terdiam beberapa saat. Beliau paham betul, beliau sendiri yang memotivasi para dosen UNU Blitar untuk kuliah doktoral. Bahkan mencarikan jaringan beasiswa melalui PBNU. Tidak salah, jika saya termasuk salah satu yang termotivasi. 

"Tidak masalah, mas. Saya senang sekali jika ada dosen yang semangat daftar S3", jawab beliau menanggapi, "tapi, usahakan jangan tinggalkan kampus dulu". 

Saya paham yang beliau maksud. UNU Blitar sedang banyak sentuhan pengembangan. Kalimat terakhir itulah kuncinya. Saya tafsirkan sebagai bentuk perizinan bersyarat. Semacam Letter of Acceptance (LoA) Conditional. 

"Lampu hijau" studi lanjut itu benar-benar saya manfaatkan. Saya cari informasi soal kampus se-Indonesia yang membuka Prodi S3 Ilmu Komputer. Sangat terbatas. Hanya kampus besar macam ITB, UI, UGM, dan ITS yang punya. Lihat nama kampusnya saja udah merinding duluan. Tidak terbayangkan, betapa berat menempuh doktoral di kampus itu. 

"Apakah di Malang tidak bisa, mas?" tanya Prof. Zainuddin. 

"Mohon maaf, belum ada Prodi S3 Ilmu Komputer, Prof". 

Jika terpaksa kuliah di Malang, bisa-bisa saya kembali ke almamater. Kuliah di UIN Maliki Malang. Ambil S3 "TI" juga. Tarbiyah Islamiyyah. 

Saya berharap banyak agar Universitas Brawijaya juga membuka S3 Ilmu Komputer. Setidaknya rencana itu ada, tercantum di program kerja dan arah pengembangan. Termaktub di situs resmi Fakultas Ilmu Komputer UB. Meski demikian, prosesnya pasti memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi harus menunggu tercukupinya guru besar bidang komputer. 

Kini, pilihan terbaik ada di almamater S2 dulu, ITS. Sudah ada target calon promotor, Prof. Riyanarto yang membimbing tesis dulu. Lalu ada Prof. Agus Zainal Arifin yang sudah populer sekali di lingkungan nahdliyyin. Beliaulah guru besar komputer yang kini menjadi Ketua PBNU. Semenjak ditarik Bu Risma manjadi Kepala Pusdatin Kemensos, sepertinya sementara waktu "non aktif" di ITS.

Awal tahun 2020, saya kontak kawan seangkatan S1 dulu, Aziz Fajar yang kini menempuh program doktor di Ilmu Komputer ITS. Ada rencana bertemu Prof. Riyanarto di hari yang sama ketika mahasiswa doktor bimbingan. 

Hanya selang sehari sebelum bertemu Prof. Riyanarto, kabar mengejutkan itu datang. Skema S3 Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) mulai tahun 2020 dihapuskan. Entah apa alasannya. Padahal itulah, tumpuan beasiswa yang dapat diharapkan. 

Pada akhirnya, saya tetap bertemu Prof. Riyanarto esok harinya. Saya sempat sampaikan maksud untuk studi lanjut ketika bertemu beliau di forum Internasional Conference iSemantic di Semarang pada September 2019. Namun, hari itu baru kesampaian untuk memohon kesediaan beliau menjadi promotor.
Bukan Prof. Riyanarto namanya jika garing dari guyonan. 

"Fauzan, saya ingat dulu kamu ndak ngundang saya ketika nikah. Bisa-bisanya nikah duluan padahal belum submit Jurnal Internasional". 

"Nggih Prof. Njenengan WA saya di pagi hari pas akad nikah. Nagih Jurnal Internasional". 

Hingga kini, belum ada satupun artikel saya yang accepted di Jurnal Internasional terindeks Scopus. 

Beliau memberikan berbagai masukan ide riset yang otak saya belum bisa menjangkaunya. Seluruh ide risetnya kekinian banget dan multidisipliner. Misalnya soal qiyas.

"Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam dapat dirancang dengan pendekatan komputasi. Idenya dari pengembangan knowledge engineering berbasis ontologi. Knowledge engineering bisa didapatkan dari basis data pustaka ulama yang jumlahnya ribuan itu. Masalah kontekstual yang memerlukan fatwa bisa langsung diputuskan oleh komputasi qiyas", terang beliau. 

Ide riset yang menarik dan pastinya kontroversial. Beliau menjabarkan ilustrasi agar riset dapat memberikan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan menjadi "problem solving" bagi masyarakat. 

"Rencanamu, izin belajar atau tugas belajar?" tanya beliau. 

"Tugas belajar, Prof".

Tapi, saya sampaikan pula soal beasiswa BPPDN yang baru saja dicabut. 

"Ambil Beasiswa Dosen LPDP saja, bisa Ndak?". 

"S3 Ilmu Komputer ITS tidak terdaftar di daftar kampus yang dibiayai LPDP, Prof."

Sudah saya lihat berulang kali. Memang benar, tidak terdaftar. Justru yang muncul adalah S3 Teknik Elektro ITS. Tetap saja, bagi, saya teknik elektro dan ilmu komputer tidaklah linear. Jelas-jelas beda departemen. 

Mengapa S3 Ilmu Komputer ITS tidak dapat dibiayai LPDP? 

Ini soal akreditasi program studi yang masih "B". LPDP mensyaratkan akreditasi institusi dan prodi sama-sama "A". 

Pilihannya, tinggal S3 Ilmu Komputer di UGM, UI dan ITB. Ngeri-ngeri sedap. 

"Kalau begitu, izin belajar saja, Fauzan". 

"Saya pikir-pikir dulu nggih Prof. Sepertinya belum sanggup". 

Saya menakar kemungkinan izin belajar sesuai arahan Prof. Riyanarto. Izin belajar yang dimaksud adalah studi lanjut dengan biaya sendiri. Berbeda halnya jika tugas belajar yang biaya kuliah dan biaya hidup ditanggung beasiswa. 

Saat itu, mungkin juga hingga saat ini, biaya S3 per semester untuk Ilmu Komputer adalah 15 juta. Iya, 15 juta. Dikalikan dengan 8 Semester kuliah. Perlu sekurangnya 120 juta hanya untuk SPP semester. Belum lagi biaya hidup, biaya riset hingga biaya publikasi. 

Ah, betapa mahalnya. Makin sedih saya.

Sejak pertemuan itu,  kabar Covid-19 makin gencar di negeri ini. Konsentrasi saya terpecah untuk mengembangkan IT kampus. Belum ada komunikasi lanjutan dengan Prof. Riyanarto. 

Saya lihat di situs resminya, kini Kemdikbud mengalokasikan anggaran khusus untuk beasiswa dosen. Tapi, tetap bekerjasama dengan dana LPDP. Konsekuensinya, S3 Ilmu Komputer ITS lagi-lagi tidak terdaftar. 

Jika pimpinan kampus mengizinkan, saya bisa mencoba peruntungan dengan mendaftar S3 di UI, ITB atau UGM. Perjuangan bakal sangat berat dan berdarah-darah. 

Harapan pada S3 Ilmu Komputer ITS tetaplah ada. Satu-satunya cara agar masuk beasiswa LPDP adalah menunggu akreditasinya menjadi "unggul". Akreditasi "unggul" setara dengan "A" dalam penilaian instrumen baru berbasis sembilan kriteria oleh BAN-PT. 

Saya kroscek di penilaian akreditasi prodi, akreditasi S3 Ilmu Komputer ITS akan daluarsa pada pertengahan tahun 2023. Wahai S3 Ilmu Komputer ITS, semoga di tahun itu engkau mendapatkan akreditasi "unggul" dan membuka harapan banyak dosen untuk mendapatkan beasiswa dosen dari Kemdikbud.

Semoga Allah mudahkan.

Amin.

Posting Komentar untuk "Beasiswa Dosen dan Impian Kuliah Doktor"