Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tersindir Pramudya



"Mas, aku terpilih jadi kontributor NU Online Jatim", ucapnya dengan bangga. 

Lama saya berkerut dahi, "Ah, masa sih". 

Ternyata betulan. Dia tunjukkan berkas pengumuman yang mencantumkan namanya. Bahkan menjadi satu-satunya peserta yang lolos dari Kabupaten Mojokerto, mewakili PC. IPPNU. 

"Emang seleksinya gimana?"

"Berat mas, tiga bulan penuh magang secara daring, dipantau ketat oleh redakturnya. Setelah itu di evaluasi lagi berdasarkan kualitas tulisannya. Jika memang bagus, ya diterima". 

"Wah, hebat betul", gumam saya. 

Berarti, saya sudah kalah level dengan adik sendiri. Dia bakal punya jam terbang tinggi menulis di media massa. Sementara saya, spesialis menulis di beranda Facebook. 

"Tiap bulannya, aku dituntut menulis 8 artikel, Mas", tambahnya.

Kerennya, NU Online Jatim secara profesional berani menggaji seluruh kontributornya. Asal memenuhi target tulisan perbulannya. 

Okelah, saya ngaku kalah. Bahkan kalah dua kali. 

Adik biasa menulis di media massa, dan digaji.  Sementara saya? Ah sudahlah. 

Setelah ini, saya perlu belajar menulis dari adik sendiri. Minimal, tulisan saya bisa menghidupi diri sendiri. 

"Sampean ini gimana to, Mas, kan aku termotivasi menulis ya gara-gara baca blog sampean", protesnya.

Rupanya, dia masih terngiang, lebih tepatnya tersindir oleh tulisan saya yang mencuplik petuah dari Pramudya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah". 

Lama saya merenungkan petuah itu. Justru makin direnungkan, ucapan Pramoedya itu menampar diri saya pribadi. Ketidakberdayaan diri untuk bisa menulis bikin hati ini gundah. 

Untunglah, saya berhasil menemukan alasan buat ngeles. Meminjam judul buku Rusdi Mathari, "merasa pandai, bodoh saja tak punya". 

Saya lega bukan main. Akhirnya terhindar dari sindiran Pramudya. Walau terkubur oleh sejarah.

Posting Komentar untuk "Tersindir Pramudya"