Begini Rasanya Menjadi Penyuluh Agama Islam, Dulu dan Sekarang
Awal tahun 2013 dulu, ibu mendesak untuk meminta ijazah SMA saya. Beliau mengatakan jika saat itu ada lowongan untuk menjadi penyuluh agama islam di salah satu KUA, yang jelas bukan di KUA Kecamatan Mojosari seperti tempat dinas saya sekarang. Rupanya ibu sangat bersemangat untuk mendaftarkan saya meskipun hanya berbekal ijazah SMA yang saya miliki. "Bu, penyuluh itu apa?", tanya saya bingung. "Saya daftarkan dulu, kalau diterima penyuluh, nanti kamu tahu sendiri tupoksinya", jawab beliau singkat. Jawaban yang malah membuat saya bingung. Penyuluh agama islam saat itu tidak sepopuler sekarang. Malah konyolnya, yang saya tahu hanyalah tukang yang sering "nyuluh" kodok di samping rumah. Memang sama-sama "nyuluh" tapi beda objek. Akhirnya, daripada masalah berlanjut, saya nurut dan memberikan legalisir ijazah SMA. Beliau sendiri yang urus berkasnya.
Kira-kira sebulan kemudian, saya diminta untuk hadir di KUA tempat saya didaftarkan dulu. Saya baru tahu jika penyuluh ternyata ngantor di KUA walaupun saat itu belum ada SK resmi yang menyatakan kantor penyuluh berada di KUA. Hadir pula disitu beberapa penyuluh baru dan penyuluh lama. Kalau tidak salah, jumlah penyuluh di kecamatan saya dulu berjumlah 15 orang. Memiliki satu koordinator dan memiliki satu penyuluh yang menjadi pembina. Bedanya, penyuluh pembina ini haruslah berstatus PNS. Tiap KUA haruslah memiliki minimal 1 penyuluh PNS. Selain penyuluh PNS, berarti disebut penyuluh honorer. Sekarang saya tahu bahwa saat itu saya didaftarkan menjadi penyuluh honorer.
Karena baru kedatangan penyuluh baru, koordinator penyuluh menjelaskan bahwa menjadi penyuluh adalah sebuah pengabdian. Persis seperti motto Kementerian Agama, "Ikhlas Beramal". Masing-masing penyuluh memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajibannya yaitu memiliki minimal satu tempat binaan, yaitu tempat dimana penyuluh bisa mendakwahkan materi keislaman kepada masyarakat. Minimal mengajarkan baca tulis Al-Qur'an. Saat itu, hampir semua penyuluh merealisasikan kewajiban penyuluhannya hanya di TPQ. Memang sebelum jadi penyuluh, mereka adalah guru ngaji, sehingga mudah untuk mendapatkan tempat binaan tetap. Saban bulan, penyuluh wajib melaporkan aktivitas binaannya berupa laporan tertulis yang ditandatangi oleh penyuluh dan ketua kelompok binaannya. Selain itu, penyuluh juga berkewajiban membantu tugas penyuluh PNS jika ada kegiatan Kementerian Agama di kecamatannya. Misal, pentasyarufan zakat tiap tahun, ada juga pendataan SIMPENAIS, SIMUS, SIMAS dll. Saya juga bingung mendengar istilah aneh itu. Ternyata yang didata adalah guru ngaji, ustadz, masjid, musholla, majelis ta'lim dll.
Mendengar penjelasan koordinator, saya berkesimpulan bahwa penyuluh bukanlah pegawai kantoran yang datang pagi pulang sore, melainkan pegawai lapangan. Mereka harus mau berhadapan dengan masyarakat untuk mendakwahkan islam. Dan memang benar, saat itu penyuluh tidak berkewajiban ngantor di KUA. Hanya saja, jika ada info penting dan tugas baru, para penyuluh menjadikan KUA sebagai basecamp untuk sharing dan bagi tugas.
Mendengar penjelasan koordinator, saya berkesimpulan bahwa penyuluh bukanlah pegawai kantoran yang datang pagi pulang sore, melainkan pegawai lapangan. Mereka harus mau berhadapan dengan masyarakat untuk mendakwahkan islam. Dan memang benar, saat itu penyuluh tidak berkewajiban ngantor di KUA. Hanya saja, jika ada info penting dan tugas baru, para penyuluh menjadikan KUA sebagai basecamp untuk sharing dan bagi tugas.
![]() |
Penyuluh Agama Islam Non PNS Kec. Mojosari |
Lalu hak penyuluh apa? Dari tadi, hanya dijelaskan masalah kewajiban penyuluh saja. Hak menyuluh ini agaknya membahagiakan, karena berhubungan dengan uang. Sebagai tenaga honorer, penyuluh berhak untuk mendapatkan honor setiap bulannya. Kami para penyuluh baru juga diminta untuk membuat rekening. Mendengar kata "honor" dan "rekening", saya bahagia bukan main. Saya membayangkan, bakal digaji besar minimal sejuta perbulan. Ternyata saya salah total, bahkan terlalu total salahnya. Memang nasib honorer dimana-mana ya gitu-gitu saja. Sering sambatan karena berhonor rendah.
Saya memberanikan diri bertanya berapa honor penyuluh. Pak kordinator kelihatan senyam-senyum saja. Agak berat untuk menjawab. Tapi karena sudah hak penyuluh, sekecil apapun harus disampaikan. Beliau mengatakan jika setiap bulannya penyuluh bakal digaji sebesar Rp 150.000. Itupun tidak rutin diberikan tiap bulan, melainkan dirapel hingga 3 bulan. Artinya, penyuluh hanya mendapatkan gaji setiap 3 bulan sebesar Rp 450.000. Saya rasanya ingin mencak-mencak tapi sungkan. Akhirnya pasrah dan terpaksa bergabung dalam keluarga besar "Ikhlas Beramal". Nama saya tercacat resmi sebagai penyuluh honorer termuda disana. Bagaimana tidak, belum genap berusia 20 sudah didaftarkan. Penyuluh honorer lain saya tengok banyak yang sepuh. Mungkin seusia pensiunan pegawai. Penyuluh sepuh malah bilang, bahwa sebelumnya, honor penyuluh pernah lebih rendah lagi. Hanya Rp 75.000 perbulan. Akhirnya pemerintah bersedia menaikkan honor penyuluh secara bertahap.
Walau begitu, saya tetap bersyukur. Tidak semua orang mampu menempuh jalan ini. Anggap saja ini adalah jalan dakwah untuk mensyiarkan islam. Bukankah dulu para nabi tidak bergaji? Jika ikhlas beramal, gaji dari Allah jauh lebih banyak. Itu kata-kata bijak yang saya pegang untuk menghibur diri sendiri. Dulu sampai sekarang.
Baca juga : Tagih Kenaikan Honor Penyuluh di Hadapan Menteri Agama
Dengan penuh kesabaran, saya bertahan menjadi penyuluh hingga tahun 2016 akhir. Waktu itu Kementerian Agama secara resmi mengadakan perekrutan penyuluh serentak se-Indonesia. Informasi telah beredar luas baik via WA maupun situs resmi. Kemenag bakal memangkas penyuluh menjadi hanya 8 orang saja per kecamatan. Itupun dengan seleksi ketat yang diadakan oleh kemenag kabupaten. Pemerintah beralasan, jika penyuluh se-Indonesia waktu itu sudah overload dan membebani APBN. Lebih baik dipangkas, tapi gaji dinaikkan. Bukan hanya itu, tupoksi penyuluh harus diperjelas dan terarah, sehingga ada proges yang real dilakukan. Awalnya, saya keukeuh untuk tidak mau lagi jadi penyuluh. Bukan masalah gaji rendah, tapi ijazah saya sangat tidak linear, bahkan tidak relevan. Saya sarjana komputer (S.Kom), sementara kualifikasi yang dibutuhkan saya itu berijazah hukum syari'ah (S.H.I). Saya sampaikan ke ibu. Melalui diskusi alot dan tarik ulur pendapat, akhirnya saya luluh juga. Ibu berpendapat, tidak ada salahnya dicoba dulu. Jika memang tidak lolos administrasi ya sudah, tidak perlu dipaksakan. Waktu itu, saya sudah hampir menyerah. Karena ijzah S-1 saya tidak linear dengan kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi penyuluh, rasanya seperti mendaftar untuk ditolak. Namun, keajaiban terjadi. Pengalaman berharga lolos seleksi penyuluh saya jelaskan di artikel lain. Wajib dibaca tuh!
Baca : Bersaing Dengan Lulusan Syari'ah, Sarjana Komputer Lolos Seleksi Penyuluh Agama Islam
Sekarang, Alhamdulillah. Nasib penyuluh jauh kebih baik. Diakui resmi oleh Kementerian Agama melalui SK khusus yang ditandatangi oleh Kepala Kemenag Kabupaten. Sebutannya sekarang adalah penyuluh agama islam non PNS. Lain halnya dengan honorer lain non penyuluh loh. Meski sama-sama ngantor di KUA, namun SK mereka hanya ditandatangi oleh Kepala KUA. Kini, penyuluh mendapatkan honor resmi Rp 500.000 per bulan yang dianggarkan dari APBN. Jauh lebih besar daripada tahun 2013 lalu. Tentunya dengan tanggungjawab dan tugas yang lebih berat. Kabar gembiranya. Tahun ini, Presiden Joko Widodo malah mengusulkan langsung agar gaji penyuluh dinaikkan lagi menjadi sejuta saban bulannya. Tapi baru janji. Saya sih tidak terlalu percaya. Jika rekening saya tiba-tiba cair sejuta, baru saja percaya.
Bagi teman-teman penyuluh agama islam, dimanapun anda berapa. Tetap semangat mengabdi dan ikhlas beramal lillahi ta'ala. Ini adalah ladang dakwah yang bernilai pahala InsyaAllah. Kita harus meyakini, pemerintah saat ini pun juga memikirkan kesejahteraan penyuluh. Bagaimanapun juga, penyuluh adalah garda terdepan pemerintah yang bisa bernilai strategis, terutama untuk mendukung pemerintah dalam relealisasikan program kerja dan deradikalilasi agama. Jika toh memang terdapat honor yang belum mencukupi. InsyaAllah suatu saat akan naik betulan. Hanya saja sekarang pemerintah belum punya dana yang mencukupi. Hehe.
Mojosari, 2 Juli 2018
Baca juga : Tagih Kenaikan Honor Penyuluh di Hadapan Menteri Agama
Dengan penuh kesabaran, saya bertahan menjadi penyuluh hingga tahun 2016 akhir. Waktu itu Kementerian Agama secara resmi mengadakan perekrutan penyuluh serentak se-Indonesia. Informasi telah beredar luas baik via WA maupun situs resmi. Kemenag bakal memangkas penyuluh menjadi hanya 8 orang saja per kecamatan. Itupun dengan seleksi ketat yang diadakan oleh kemenag kabupaten. Pemerintah beralasan, jika penyuluh se-Indonesia waktu itu sudah overload dan membebani APBN. Lebih baik dipangkas, tapi gaji dinaikkan. Bukan hanya itu, tupoksi penyuluh harus diperjelas dan terarah, sehingga ada proges yang real dilakukan. Awalnya, saya keukeuh untuk tidak mau lagi jadi penyuluh. Bukan masalah gaji rendah, tapi ijazah saya sangat tidak linear, bahkan tidak relevan. Saya sarjana komputer (S.Kom), sementara kualifikasi yang dibutuhkan saya itu berijazah hukum syari'ah (S.H.I). Saya sampaikan ke ibu. Melalui diskusi alot dan tarik ulur pendapat, akhirnya saya luluh juga. Ibu berpendapat, tidak ada salahnya dicoba dulu. Jika memang tidak lolos administrasi ya sudah, tidak perlu dipaksakan. Waktu itu, saya sudah hampir menyerah. Karena ijzah S-1 saya tidak linear dengan kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi penyuluh, rasanya seperti mendaftar untuk ditolak. Namun, keajaiban terjadi. Pengalaman berharga lolos seleksi penyuluh saya jelaskan di artikel lain. Wajib dibaca tuh!
Baca : Bersaing Dengan Lulusan Syari'ah, Sarjana Komputer Lolos Seleksi Penyuluh Agama Islam
Sekarang, Alhamdulillah. Nasib penyuluh jauh kebih baik. Diakui resmi oleh Kementerian Agama melalui SK khusus yang ditandatangi oleh Kepala Kemenag Kabupaten. Sebutannya sekarang adalah penyuluh agama islam non PNS. Lain halnya dengan honorer lain non penyuluh loh. Meski sama-sama ngantor di KUA, namun SK mereka hanya ditandatangi oleh Kepala KUA. Kini, penyuluh mendapatkan honor resmi Rp 500.000 per bulan yang dianggarkan dari APBN. Jauh lebih besar daripada tahun 2013 lalu. Tentunya dengan tanggungjawab dan tugas yang lebih berat. Kabar gembiranya. Tahun ini, Presiden Joko Widodo malah mengusulkan langsung agar gaji penyuluh dinaikkan lagi menjadi sejuta saban bulannya. Tapi baru janji. Saya sih tidak terlalu percaya. Jika rekening saya tiba-tiba cair sejuta, baru saja percaya.
Bagi teman-teman penyuluh agama islam, dimanapun anda berapa. Tetap semangat mengabdi dan ikhlas beramal lillahi ta'ala. Ini adalah ladang dakwah yang bernilai pahala InsyaAllah. Kita harus meyakini, pemerintah saat ini pun juga memikirkan kesejahteraan penyuluh. Bagaimanapun juga, penyuluh adalah garda terdepan pemerintah yang bisa bernilai strategis, terutama untuk mendukung pemerintah dalam relealisasikan program kerja dan deradikalilasi agama. Jika toh memang terdapat honor yang belum mencukupi. InsyaAllah suatu saat akan naik betulan. Hanya saja sekarang pemerintah belum punya dana yang mencukupi. Hehe.
Mojosari, 2 Juli 2018
Posting Komentar untuk "Begini Rasanya Menjadi Penyuluh Agama Islam, Dulu dan Sekarang "