Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Manakala Manusia Mengkritik Tuhan

Suatu ketika, saya terlibat diskusi serius dengan Dosen mata kuliah Tarbiyah Ulul Albab yang saya jalani di semester I silam. Waktu itu, seingat saya beliau menjelaskan tentang Konsep Insan Ulul Albab yang dikorelasikan dengan keteladanan sifat-sifat Allah. Di penghujung perkuliahan beliau memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk bertanya, dan dengan segera saya angkat tangan untuk izin bertanya. Dengan lugas, saya bertanya, “Bu Dosen, Seingat saya, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menyatakan bahwa Allah sengaja menyesatkan ataupun memberikan hidayah kepada hamba-hamba yang Allah pilih, menurut Ibu, mengapa ini terjadi? Bukankah ini tidak adil? Bagaimana jika hamba yang Allah sesatkan memprotes mengapa harus dirinya yang disesatkan? Bukankah Allah Maha Adil dan Maha Penyayang!”

Kontan, pertanyaan frontal saya membuat beliau agak tercengang. Sebenarnya saya mengajukan pertanyaan tersebut hanya atas dasar kebimbangan logika saya belaka. Logika yang belum tentu mengarah kepada kebenaran. Dengan tegas beliau menjawab “Apa kamu tahu yang kamu tanyakan?, pertanyaanmu bukanlah pertanyaan akhlakul karimah, bagaimana mungkin manusia mengungkit-ungkit dan mempermasalahkan apa yang Allah lakukan. Kita siapa dan apa hak kita terhadap-Nya?”. Jawaban tersebut langsung membuat saya merasa bersalah, logika yang terbungkus rapi dengan statement yang terkesan masuk akal telah menipu saya. Saya telah terjebak untuk sok mengkritik Tuhan.

***

Kisah kembali berlanjut, saya memiliki pengalaman menarik ketika kuliah studi qur’an setahun silam. Sudah menjadi kebiasaan bahwa dalam prosesnya, perkuliahan mata kuliah keislaman pasti ditunjang dengan adanya presentasi oleh kelompok yang membahas topik tertentu. Kala itu, sesi pertanyaan dimulai setelah presentator telah menerangkan bab yang mereka bahas. Salah seorang mahasiswa mengacungkan tangan meminta izin untuk menyampaikan pendapat. “Saya ingin mengajak kita semua untuk merenung, cobalah kita berfikir mengapa Allah dulu tidak mengirim Rasul utusan ke semua penjuru bumi saja, mengapa cuma disekitar timur tengah? Efeknya, umat islam tidak merata seperti sekarang, apakah Allah salah konsep?, berikutnya, Allah mengirimkan Al-Qur’an sebagai wahyu penuntun umat hingga Akhir zaman, mengapa hokum-hukum Allah tidak menyesuaikan saja dengan perkembangan peradaban manusia, manusia semakin lama semakin kompleks masalahnya, jika wahyu Allah tidak dikembangkan, ya jadinya Islam tidak lagi Rahmatan Lil Alamin dong?”

Pertanyaan tersebut membuat semua mahasiswa terdiam, Berbagai pertanyaan konyol tersebut seakan membuat logika masing-masing mahasiswa berkata “Oh, Iya ya, benar juga kayaknya!”. Dampaknya, mahasiswa yang terjebak logikanya, ditambah minimnya referensi pengetahuan akidah keislaman membuat pola pikirnya bak melebihi Tuhan, hingga berhak mengarahkan apa yang Tuhan harus perbuat. Termasuk saya yang sempat mengalaminya…

Dampak yang lebih ekstrim akibat tingkah mengkritik Tuhan adalah menjamurnya pemikiran nyeleneh di kalangan mahasiswa. Logika yang berkeliaran dengan bebas akan memaksa hokum-hukum syar’I tunduk dibawah naungan logika yang keblinger. Dan tebakan saya tidak meleset, suatu ketika bahkan di jumpai sekelompok mahasiswa aktivis yang dengan santainya melanggar kewajiban sholat Jum’at, dengan logikanya mereka menjawab, “Halah, yang tidak boleh itu apabila tidak sholat jum’at tiga kali berturut-turut, kalau selang-seling ya boleh aja, minggu ini gak jumatan, minggu depan jumatan, gampang kan?”

***

Saya merasa sedikit beruntung pernah mendalami kitab karangan para ulama yang selaras dengan akidah islam. Dengan begitu, masalah-masalah seperti ini dapat kita telaah lebih rinci dengan pedoman ajaran para ulama. Sebagai benang merah, saya mengajak teman-teman menyelami kitab Qomi’ut Tughyan sejenak, ada sebuah hikayat yang dapat kita petik hikmahnya terkait masalah kritikan terhadap Tuhan.

Suatu ketika, Syekh Afifuddin az-Zahid, salah seorang ulama zuhud menceritakan bahwa sewaktu berada di Mesir beliau mendengar sesuatu yang terjadi di Kota Baghdad tentang pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin dan para ulama disana. Kota Baghdad hancur, selama tiga setengah tahun tidak mempunyai pemerintahan. Peristiwa ini diperparah dengan perbuatan orang-orang kafir yang mengalungkan mushaf al-Quran pada leher-leher anjing, membuang kitab karangan para ulama ke sungai hingga sungai menjadi seperti jembatan yang dapat dilalui oleh kuda-kuda mereka.

Syekh Afifuddin az-Zahid begitu menyayangkan mengapa peristiwa tersebut harus terjadi dan bertanya kepada Allah swt, "Wahai Tuhanku, Engkau tahu, Baghdad itu pusatnya ilmu agama-Mu, bagaimana hal ini dapat terjadi, sedangkan di antara kaum muslimin yang dibunuh itu terdapat anak-anak dan orang-orang yang tidak berdosa?".

Malam harinya, pada waktu tidur Syekh Afifuddin az-Zahid bermimpi melihat seorang laki-laki yang membawa sebuah tulisan yang berbunyi :


Tinggalkanlah mengkritik Allah, apa urusanmu?

Hukum itu tidak bergantung pada gerakan-gerakan bintang.

Janganlah engkau bertanya kepada Allah mengenai pekerjaan-Nya.

Barang siapa yang mengarungi gelombang lautan niscaya dia akan binasa.

Kalimat terakhir saya kira adalah klimaks dari peringatan Allah kepada orang-orang yang suka mengkritik kepada yang bukan urusannya. Kalimat tersebut lebih tepat jika saya tafsirkan, “barangsiapa yang melogika apa yang Allah kerjakan, niscaya dia akan celaka”.

Wallahu A’lam Bisshowab.

2 komentar untuk "Manakala Manusia Mengkritik Tuhan"