Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Imam al-Thabari dan Ibnu Katsir Luruskan Politisasi Tafsir Lailatul Qadar

Melalui dua buku Prof. Nadirsyah Hosen, saya menikmati tulisan beliau soal 'sisi lain' kekhilafahan islam. Anehnya, 'sisi lain' ini seakan tidak tersentuh oleh mereka para pengusung ideologi khilafah. Biasanya, yang ditunjukkan hanya sisi baiknya. Ujung-ujungnya, kesimpulan mereka sampai pada anggapan, "apapun probematika kehidupan, solusinya adalah khilafah". Meskipun secara resmi organisasi mereka dibubarkan, namun akar ideologi sulit dipadamkan. Pun hingga saat ini.  

Saya tidak perlu sebutkan judul buku Prof. Nadirsyah, nggih. Coba njenengan googling mawon. Di buku itu, referensi beliau tidak tanggung-tanggung. Langsung merujuk, bahkan tidak jarang menyertakan teks asli dari dua kitab babon sejarah peradaban islam. Kitab apa itu? Adalah Kitab Tarikh al-Rusul wa Al-Muluk karya Imam al-Thabari (w. 310 H), dikenal dengan sebutan Tarikh al-Thabari. Kedua adalah Kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H). Keduanya adalah kitab muktabar dan muktamad soal sejarah peradaban islam. Apalagi kedua penulisnya adalah mufassir sekaligus ahli hadist, sehingga cerita yang termaktub di kedua kitab itu tentu saja otentik dan dapat dipercaya. 

Salah satu 'sisi lain' kekhilafahan islam yang diceritakan Prof. Nadirsyah adalah soal politisasi ayat Al-Qur'an dan Hadist Nabi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Dalam sejarah peradaban islam, tentu kita mengenal dua dinasti besar yang berkuasa pasca wafatnya khulafaur rosyidin, yaitu Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Keduanya memberikan peran dan kontribusi luar biasa dalam kemajuan peradaban islam. Walaupun, ada sisi tertentu yang harus kita tahu. Kedua dinasti ini dalam sejarahnya, saling serang secara fisik dan politik. 

Dinasti Umayyah lebih dulu berkuasa selama 90 tahun. Diikuti peralihan kekuasaan ke Dinasti Abbasiyah yang memakan korban jiwa tidak sedikit. 

Imam al-Thabari dalam Kitab Tarikh-nya, sebagaimana dinukil oleh Prof. Nadirsyah, menuliskan bahwa saat Dinasti Umayyah berkuasa, mimbar Jum’at dikabarkan dipenuhi cacian akan Imam Ali bin Abi Thalib. Sampai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dari dinasti Umayyah, tradisi buruk itu dihentikan. 

Nah, di masa Khalifah al-Mu’tadhid (dinasti Abbasiyah) ancaman dari sisa-sisa keturunan dan pasukan Umayyah masih ada. Maka al-Mu’tadhid menggunakan tangan besi untuk melawan mereka, termasuk dengan menggunakan ayat dan hadits untuk melaknat pendiri dinasti Umayyah. Sasarannya adalah Khalifah Mu’awiyah, Yazid dan Marwan yang menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah. Mereka dilaknat dan dicaci-maki oleh para Khalifah Abbasiyah. 

Parahnya, contoh ayat yang yang dikutip seperti QS. al-Isra ayat 60. Ayat itu menyebut pohon yang terkutuk, lantas ditafsirkan sebagai Bani Umayyah. 

Kalau politisasi ayat dan hadist mau dicontohkan semua, di buku Prof. Nadirsyah sudah dirangkum lengkap. 

Mumpung malam ini adalah malam ganjil terakhir bulan ramadan. Saya coba mengaji tafsir lailatul qodar pada QS. Al-Qadr, 1-5, dengan rujukan kitab Tafsir Ibnu Katsir. Sebagai seorang mufassir yang ahli hadist, sudah barang tentu Ibnu Katsir menafsirkan Qur'an dengan bi al-Ma'tsur. Maksudnya, menafsirkan Qur'an dengan Qur'an, Qur'an dengan Hadist Nabi dan Qur'an dengan penjelasan para Sahabat Nabi. 

Dalam tafsir QS. Al-Qadr, ada sesuatu yang menurut saya unik. Ada penjelasan yang membuat seorang Ibnu Katsir sampai harus menjelaskan panjang lebar untuk meluruskan makna lailatur qodar yang disalahartikan, bahkan cenderung dipolitisi untuk menjatuhkan kekuasaan politik saat itu. Saya cuplik tulisan beliau melalui al-Maktabah al-Syamilah di smartphone saya,

قَالَ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ الْفَضْلِ الحُدّاني (6) عَنْ يُوسُفَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَامَ رَجُلٌ إِلَى الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بَعْدَ مَا بَايَعَ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ: سَوّدتَ وجوهَ الْمُؤْمِنِينَ -أَوْ: يَا مُسَوِّدَ وُجُوهِ الْمُؤْمِنِينَ-فَقَالَ: لَا تُؤَنِّبْنِي، رَحِمَكَ اللَّهُ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أريَ بَنِي أُمَيَّةَ عَلَى مِنْبَرِهِ، فَسَاءَهُ ذَلِكَ، فَنَزَلَتْ: {إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ} يَا مُحَمَّدُ، يَعْنِي نَهْرًا فِي الْجَنَّةِ، وَنَزَلَتْ: {إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ} يَمْلِكُهَا بَعْدَكَ بَنُو أُمَيَّةَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ الْقَاسِمُ: فَعَدَدْنَا فَإِذَا هِيَ ألف شهر، لا تزيد يوما ولا تنقص يَوْمًا (7) .

ثُمَّ قَالَ التِّرْمِذِيُّ: هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الْقَاسِمِ بْنِ الْفَضْلِ، وَهُوَ ثِقَةٌ وَثَّقَهُ يَحْيَى الْقَطَّانُ وَابْنُ مَهْدِيٍّ. قَالَ: وَشَيْخُهُ يُوسُفُ بْنُ سَعْدٍ -وَيُقَالُ: يُوسُفُ بْنُ مَازِنَ-رَجُلٌ مَجْهُولٌ، وَلَا نَعْرِفُ هَذَا الْحَدِيثَ، عَلَى هَذَا اللَّفْظِ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.

[ابن كثير ,تفسير ابن كثير ت سلامة ,8/441] 

قَوْلُ التِّرْمِذِيِّ: إِنَّ يُوسُفَ هَذَا مَجْهُولٌ -فِيهِ نَظَرٌ؛ فَإِنَّهُ قَدْ رَوَى عَنْهُ جَمَاعَةٌ، مِنْهُمْ: حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، وَخَالِدٌ الْحَذَّاءُ، وَيُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ. وَقَالَ فِيهِ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: هُوَ مَشْهُورٌ، وَفِي رِوَايَةٍ عَنِ ابْنِ مَعِينٍ [قَالَ] (2) هُوَ ثِقَةٌ. وَرَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ مِنْ طَرِيقِ الْقَاسِمِ بْنِ الْفَضْلِ، عَنْ عِيسَى بْنِ مَازِنَ، كَذَا قَالَ، وَهَذَا يَقْتَضِي اضْطِرَابًا فِي هَذَا الْحَدِيثِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ. ثُمَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى كُلِّ تَقْدِيرٍ مُنْكَرٌ جِدًّا، قَالَ شَيْخُنَا الْإِمَامُ الْحَافِظُ الْحُجَّةُ أَبُو الْحَجَّاجِ الْمِزِّيُّ: هُوَ حَدِيثٌ مُنْكَرٌ.

قُلْتُ: وَقَوْلُ الْقَاسِمِ بْنِ الْفَضْلِ الحُدّاني (3) إِنَّهُ حَسَبَ مُدّة بَنِي أُمَيَّةَ فَوَجَدَهَا أَلْفَ شَهْرٍ لَا تَزِيدُ يَوْمًا وَلَا تَنْقُصُ، لَيْسَ بِصَحِيحٍ؛ فَإِنَّ معاويةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، اسْتَقَلَّ بِالْمُلْكِ حِينَ سَلّم إِلَيْهِ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْإِمْرَةَ سنةَ أَرْبَعِينَ، وَاجْتَمَعَتِ الْبَيْعَةُ لِمُعَاوِيَةَ، وَسُمِّيَ ذَلِكَ عَامَ الْجَمَاعَةِ، ثُمَّ اسْتَمَرُّوا فِيهَا مُتَتَابِعِينَ بِالشَّامِ وَغَيْرِهَا، لَمْ تَخْرُجْ عَنْهُمْ إِلَّا مُدَّةَ دَوْلَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ فِي الْحَرَمَيْنِ وَالْأَهْوَازِ وَبَعْضِ الْبِلَادِ قَرِيبًا مِنْ تِسْعِ سِنِينَ، لَكِنْ لَمْ تَزُل يَدُهُمْ عَنِ الْإِمْرَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، بَلْ عَنْ بَعْضِ الْبِلَادِ، إِلَى أَنِ اسْتَلَبَهُمْ بَنُو الْعَبَّاسِ الْخِلَافَةَ فِي سَنَةِ اثْنَتَيْنِ وَثَلَاثِينَ وَمِائَةٍ، فَيَكُونُ مَجْمُوعُ مُدَّتِهِمُ اثْنَتَيْنِ وَتِسْعِينَ سَنَةً، وَذَلِكَ أَزْيَدُ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، فَإِنَّ الْأَلْفَ شَهْرٍ عِبَارَةٌ عَنْ ثَلَاثٍ وَثَمَانِينَ سَنَةً وَأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، وَكَأَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ الْفَضْلِ أَسْقَطَ مِنْ مُدَّتِهِمْ أَيَّامَ ابْنِ الزُّبَيْرِ، وَعَلَى هَذَا فَتَقَارَبَ مَا قَالَهُ الصحة فِي الْحِسَابِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى ضَعف هَذَا الْحَدِيثِ أنَّه سِيقَ لِذَمِّ دَوْلَةِ بَنِي أُمَيَّةَ، وَلَوْ أُرِيدَ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ بِهَذَا السِّيَاقِ؛ فَإِنَّ تَفْضِيلَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ عَلَى أَيَّامِهِمْ لَا يَدُلُّ عَلَى ذَم أَيَّامِهِمْ، فَإِنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ شَرِيفَةٌ جِدًّا، وَالسُّورَةُ الْكَرِيمَةُ إِنَّمَا جَاءَتْ لِمَدْحِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَكَيْفَ تُمدح بِتَفْضِيلِهَا عَلَى أَيَّامِ بَنِي أُمَيَّةَ الَّتِي هِيَ مَذْمُومَةٌ، بِمُقْتَضَى هَذَا الْحَدِيثِ، وَهَلْ هَذَا إِلَّا كَمَا قَالَ الْقَائِلُ:

ألَم تَرَ أَنَّ السَّيْفَ ينقُصُ قَدْرُه ... إِذَا قِيل إِنَّ السَّيْفَ أمضَى مِن العَصَا ...

وَقَالَ آخَرُ:

إِذَا أنتَ فَضَّلتَ امْرَأً ذَا بَرَاعَة ... عَلى نَاقص كَانَ المديحُ منَ النَّقص ...

ثُمَّ الَّذِي يُفْهَمُ مِنْ وِلَايَةِ (4) الْأَلْفِ شَهْرٍ الْمَذْكُورَةِ فِي الْآيَةِ هِيَ أَيَّامُ بَنِي أُمَيَّةَ، وَالسُّورَةُ مَكِّيَّةُ، فَكَيْفَ يُحَالُ عَلَى أَلْفِ شَهْرٍ هِيَ دَوْلَةُ بَنِي أُمَيَّةَ، وَلَا يَدُلُّ عَلَيْهَا لَفْظُ الْآيَةِ وَلَا مَعْنَاهَا؟! وَالْمِنْبَرُ إِنَّمَا صُنِعَ بِالْمَدِينَةِ بَعْدَ مُدَّةٍ مِنَ الْهِجْرَةِ، فَهَذَا كُلُّهُ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ هَذَا الْحَدِيثِ وَنَكَارَتِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ 

[ابن كثير ,تفسير ابن كثير ت سلامة ,8/442]

Panjang sekali, ya. Bikin pusing yang membaca saja. Jika anda menginginkan penjelasan tafsirnya secara utuh dalam tulisan yang sudah diterjemahkan Indonesia, bisa cek di ibnukatsironline.com

Intinya sih begini, disampaikan bahwa lailatul qadar barang tentu lebih baik daripada seribu bulan. Kita semua paham dengan hal ini. Akan tetapi, dipolitisasi bahwa lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan kekuasaan Umayyah. Memang sih, kebetulan masa 90 tahun kekuasaan Umayyah itu sama dengan masa hitungan seribu bulan. Tapi apa hubungannya ayat lailatul qadar dengan masa kekuasaan Bani Umayyah? Seakan-akan, pesan terselubungnya adalah umat jangan silau dengan panjangnya kekuasaan Umayyah. Ndak nyambung kan? 

Ibnu Katsir berkesimpulan bahwa, hadist-hadist yang mengatakan lailatul qodar berkaitan dengan Bani Umayyah adalah hadist yang munkar sekali. Diriwayatkan oleh rawi yang dhaif, di mana riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat. Ibnu Katsir juga merujuk pendapat Imam al-Thabari, yang juga mempermasalahkan hal ini. Artinya, sebagai sesama ahli tafsir dan ahli hadist, Imam al-Thabari dan Ibnu Katsir sama-sama meluruskan politisasi tafsir tentang lailatul qadar. Hadist ini sengaja diutarakan hanya untuk mencela pemerintahan Bani Umayyah.

Ibnu Kastir sampai menuliskan syair, "Tidakkah engkau lihat, bahwa pedang itu turun pamornya bila dikatakan bahwa ia lebih tajam daripada tongkat?". 

Paham maksudnya?

Yang saya tangkap. Sangat tidak apple to apple membandingkan kemuliaan malam lailatul qadar dengan pemerintahan Bani Umayyah. 

Saya bergidik ngeri membayangkan, bagaimana efek kebencian yang sudah sampai pada puncaknya hingga tafsir quran pun sampai dipolitisir sedemikian rupa. Ternyata pelintirisasi dan politisasi ayat-hadits sudah berlangsung sejak lama. Inilah yang terjadi ketika kekuasaan menyalahgunakan agama. Beruntung. Kita memiliki banyak ulama yang meluruskan politisasi ayat ini. 

Na’udzubillah min dzalik.

Posting Komentar untuk "Ketika Imam al-Thabari dan Ibnu Katsir Luruskan Politisasi Tafsir Lailatul Qadar"