Sampai Debat Saat Ceramah Subuh, Ternyata Masalah Ini
Sejak awal Ramadan, Masjid Baitul Hakim rutin mengadakan ceramah subuh. Sudah ada selebaran yang ditempel di papan pengumuman masjid. Waktu itu, Kiai Anwar yang kebagian jadwal. Beliau dijadwal empat hari. Saat itu hari terakhir.
Setelah doa bersama selesai, saya segera mengambil posisi duduk terbaik. Begitu pula dengan para jamaah. Tiang dan tembok masjid menjadi lokasi favorit untuk sandaran punggung. Kiai Anwar memulai ceramahnya. Materinya normatif, khas Bulan Ramadan. Perihal hikmah puasa. Saya menikmati ceramah beliau sambil memejamkan mata. Ada sensasi rileks dalam diri. Saking rileksnya sampai setengah masuk mimpi.
Sebelum mengakhiri ceramah, entah mengapa beliau menukil ayat quran tentang wajibnya umat islam untuk taat kepada Allah, kepada Rasulullah dan ulil amrinya. Masalah taat kepada Allah dan Rasul, beliau tidak mempermasalahkan itu. Semua jamaah juga pada paham. Beliau fokus pada bahasan taat kepada ulil amri. Dalam konteks keindonesiaan, ulil amri adalah pemerintah.
Agar mudah dipahami jamaah, beliau mencontohkan hal-hal kecil di sekitar masyarakat tentang taat terhadap pemerintah. Misalnya, berhenti saat lampu menyala merah di perempatan. Menurut beliau, jika diniatkan berhenti karena taat terhadap peraturan pemerintah, maka akan mendapatkan pahala. Alasannya, hal in i sejalan dengan perintah Allah untuk taat kepada ulil amri.
Sambil merem, saya manggut-manggut tanda setuju. Keadaan hening dan kondusif. Jamaah menyimak dengan rileksnya.
Kiai Anwar melanjutkan contoh yang kedua. Masih tentang perilaku taat ulil amri. Kali ini mengangkat isu yang sensitif dan kontroversial. Setidaknya di lingkungan Masjid Baitul Hakim.
"Contoh lain taat ulil amri adalah memakai masker", lanjut beliau.
Saya langsung buka mata. Mendadak seperti tersindir. Saya tengok kanan kiri. Beberapa pada melek. Saya pastikan untuk jamaah laki-laki hanya Kiai Anwar yang pakai masker.
"Insya Allah, yang pakai masker akan mendapatkan pahala dari Allah, jika diniatkan taat kepada pemerintah", pungkas beliau.
Pikiran saya tiba-tiba menegasikan pernyataan beliau. Timbul pertanyaan dalam hati, jika begitu, berarti yang tidak pakai masker otomatis tidak taat pemerintah, kah?
Tiba-tiba dari belakang muncul suara Kiai Masrur menyela pernyataan beliau. "Kiai, sekedap. Kulo usul", sahutnya. Padahal niat beliau kan bertanya, keceplosan bilang usul.
"Berarti, mboten pakai masker hukume dosa nopo mboten?", tanya Kiai Masrur. "Kan mboten taat pemerintah."
Ini pertanyaan mudah yang jawabannya sulit. Terutama di posisi Kiai Anwar.
"Sebentar, saya jelaskan dulu. Mboten saget langsung kulo jawab." jawab Kiai Anwar agak gugup. Beliau tidak menyangka ada pertanyaan seperti itu.
"Langsung mawon, Yi. dosa nopo mboten?" Kiai Masrur serasa mengejar jawaban.
Mulai tegang. Suasana yang tadinya hening mendadak riuh. Jamaah pada bisik-bisik. Andai Kiai Anwar menfatwakan dosa, saya khawatirkan timbul chaos. Pikiran saya memang agak lebay.
"Tidak bisa langsung dijawab dosa apa tidak. Nggih tergantung niat njenengan. Kulo niki cuma menyampaikan khusus untuk yang biasa pakai masker mawon. Kalau memang biasa mboten pakai masker nggih berarti sanes damel njenengan", sanggah Kiai Anwar.
Jawaban Kiai Anwar terkesan ngambang. Kemungkinan menunjukkan kehati-hatian beliau untuk tidak menimbulkan debat lanjutan.
Kiai Masrur diam. Tidak menanggapi jawaban.
"Kito niki tidak mencari benar salah. Kersane kito langsung yang tanggung jawab kelak di hadapan Allah. Sedanten nggadah alasan piyambak-piyambak.
Jawaban Kiai Anwar sebenarnya bikin saya ketar ketir. Ada redaksi menakutkan "tanggung jawab kelak di hadapan Allah". Pikiran liar saya kemana-mana. Malah mikir jawabannya apa, ketika kelak malaikat menanyakan kenapa tak pakai masker. Astaghfirullah, malaikat kan bukan Satpol PP.
Kiai Anwar segera menyelesaikan ceramahnya. Jamaah bubar dengan tertib termasuk saya. Saya anggap persoalan selesai.
Rumah saya hanya selemparan batu dari Masjid Baitul Hakim. Jika mikrofon masjid belum dimatikan, suara orang yang ngobrol dalam masjid masih bisa terdengar sampai rumah saya.
Pintu rumah saya tutup. Saya terhenyak. Tiba-tiba muncul suara orang seperti bantah-bantahan dalam masjid. Dari suara yang muncul, rasanya saya tak asing.
Ya, ternyata suara Kiai Anwar dan Kiai Masrur. Eh berlanjut. Saya kira masalah tadi selesai. Toh kesimpulannya, jika tak terima, masing-masing pihak bisa mengadu kepada Allah di akhirat.
Eh, ternyata debat lagi. Ah sudahlah.
Posting Komentar untuk "Sampai Debat Saat Ceramah Subuh, Ternyata Masalah Ini"