Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Genealogi Wahabi-NU Dibalik Pelukan Buya Arrazy

Tanpa terasa, saya tiba kota di kecil yang sejuk di ujung timur Sumatra Barat, Payakumbuh. Menempuh perjalanan darat yang jauh menembus belantara lintas Sumatra. Alih-alih naik bus, saya memilih kendaraan pribadi. Itulah kali pertama saya jadi sopir non-stop Mojokerto-Payakumbuh.

Saya tiba di depan sebuah rumah. Rumah biasa pada umumnya. Tidak seperti rumah gadang yang ujung atapnya lancip itu.

Saya ajak istri, ibu dan adik perempuan untuk bertamu. Tak disangka, kami disambut langsung oleh sosok yang kami rindukan. Dr. Arrazy Hasyim, M.A.

Beliau menyapa kami ramah dengan senyum khasnya, lalu mempersilahkan kami duduk. Saya sapa beliau dengan panggilan khas, Buya. Sebagaimana pendahulunya yang tidak kalah alim, Buya Hamka.

Ruang tamu beliau tak ubahnya seperti ruang tamu Gus-Gus di pesantren Jawa. Tidak ada meja dan kursi. Hanya hamparan karpet merah dengan pernak pernik cemilan.

"Antum dari mana", sapa beliau membuka obrolan.

"Mojokerto, Buya".

"MasyaAllah, jauh sekali sampai sini".

Beliau tahu, jika Mojokerto berdekatan dengan Jombang, wilayah yang begitu berkesan.

"Sanad keilmuan saya ada di Pesantren Tebuireng", kenangnya.

Saya diam terpaku menyimak penjelasan beliau. Saya lihat istri, ibu dan adik perempuan juga lebih banyak diam dan menunduk.

Saya akui, Buya Arrazy begitu wibawa dan kharismatik, dengan pembawaan yang tenang.

"Murobbi ruhhi saya, di Darus Sunnah adalah alumni Tebuireng, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, dari beliau saya ambil sanad keilmuan hadist. Kyai Ali adalah murid langsung dari Kyai Tebuireng saat itu, KH. Idris Kamali. Sedangkan, Kyai Idris adalah murid kesayangan Hadrotussyaikh, sekaligus menantunya."

Beliau menambahkan, "Meski begitu, sanad ilmu saya juga sampai Ulama Saudi rujukan salafi-wahabi, Syaikh Bin Baz, ya melalui Kyai Ali juga. Akhirnya lahir genealogi keilmuan yang unik, Wahabi-NU."

Saya seakan mendengar ulang ceramah beliau seperti yang biasa saya dengar dari fanpage majelisnya, Ribath Nouraniyah.

Saya tak ingat berapa lama diajak ngobrol. Terlalu banyak juga yang beliau sampaikan. Tentang pentingnya bertasawuf dan menjaga Akidah Ahlussunah wal Jamaah Asy'ariyyah.

Setelah dijamu makan, kami undur diri. Saya sempat mengabadikan kebersamaan dengan beliau melalui smartphone yang saya bawa.

Buya Arrazy memeluk saya dengan erat. Beliau membisikkan pesan khusus.

Sebelum pulang, saya sempat melihat foto-foto bersama beliau.

Aneh, galeri smartphone saya gelap. Tidak ada foto satupun yang saya dapatkan. Hanya layar yang gelap.

Sayup-sayup, saya dengar suara Pak Manap, muadzin Masjid Baitul Hakim mengumandangkan adzan subuh.

"Ya Allah, kenapa hanya mimpi", gumam saya dalam hati.

Saya sempat lihat lagi galeri foto di HP. Siapa tahu ada foto bersama beliau.

Nihil.

Sayang, saya lupa isi percakapan tentang Tasawuf dan Akidah bersama beliau.

Akhirnya, serpihan ingatan mimpi malam itu saya tuliskan. Agar tidak hilang sama sekali.



Saya beli buku-buku beliau untuk berguru secara tidak langsung. Buku "berat" tentang penjelasan akidah salaf perspektif Imam al-Tahawi.

Ada pula disertasi doktor beliau yang sudah diwakafkan dalam buku. Tentang genealogi salafi-wahabi yang puritan. Dari generasi salafnya Imam Ahmad bin Hambal, lanjut ke generasi pertengahannya, Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Hingga generasi belakangan, pencetus gerakan pemurnian akidah, Muhammad bin Abdul Wahhab. Melalui tokoh terakhir inilah, muncul nisbat yang populer dengan sebutan Wahhabi, yang menjadi "ideologi" resmi kerajaan Saudi pasca runtuhnya Kekhilafan Turki Usmani.

Posting Komentar untuk "Genealogi Wahabi-NU Dibalik Pelukan Buya Arrazy"